Hingga tahun 60-70-an, di kota kelahiran saya Gresik, hanya ada 3 lapangan sepakbola yang cukup representatif untuk menyelenggarakan pertandingan sepakbola skala besar pada jamannya.
Yang pertama, di Alun-alun Gresik yang kondisinya terbuka dikelilingi dengan jalan raya. Sebelah Barat oleh Jl. Alun-alun Barat dan di seberangnya terdapat Masjid Jami' yang besar dan anggun dengan arsitektur perpaduan Jawa, Islam dan Barat/Eropa.
Sayang masjid ini dipermak sekitar tahun 1975/76 ketika Gresik naik status sebagai Kota Kabupaten. Sebelah Selatan dibatasi Jl. Alun-alun Selatan dan berseberangan dengan RSU Gresik yang menempati bekas kantor pemerintahan jaman Hindia-Belanda yang gagah karena menyerupai Istana Kepresidenan Jakarta. Tetapi gedung ini juga dipermak karena dijadikan Pendopo Kabupaten.
Sebelah Timur dengan Jl. Alun-alun Timur yang berseberangan dengan perkampungan Pecinan. Sedangkan sebelah Utara dibatasi Jl. Alun-alun Utara yang juga berseberangan dengan gedung-gedung besar peninggalan Belanda yang kemudian dimanfaatkan untuk kantor militer.
Apabila ada pertandingan besar dan dibayarkan dengan membeli karcis, gang-gang perkampungan di Pekauman, Gapura, jalan dari Telogobendung dan dari Pecinan ditutup. Bagi yang mau melintas, dianggap mau nonton sepakbola, maka diwajibkan membeli karcis nonton sepakbola.
Demikian juga di stadion atau dikenal sebagai Alun-alun Telogodendo yang kondisinya terbuka. Kemudian stadion yang tertutup hanya terdapat di komplek Pabrik Semen Gresik. Belakangan, Alun-alun Gresik dan Alun-alun Telogodendo berubah fungsi dan hanya ada Stadion Petrokimia Gresik serta Stadion Joko Samudro yang baru diresmikan.
Dulu, sewaktu masih di SD dan SMP saya sering main sepakbola dengan teman-teman di Alun-alun Gresik pada sore hari. Bolanya masih jenis leter T yang sangat populer pada masa itu dan dibeli dengan cara patungan.
Kalau ada pertandingan besar dan dibayarkan, saya sering bawa buku untuk belajar di Masjid Jami', pergi lebih awal dan sholat Ashar lalu turun ke Alun-alun begitu pertandingan sepakbola dimulai.
Tidak bayar karena alasan habis selesai sholat, dan umumnya para jamaah orangtua tidak suka menonton sepakbola. Jadi, belajar dulu, sholat Ashar lalu nonton sepakbola gratis, dilanjutkan sholat Maghrib lalu pulang.
Salah seorang pemain sepakbola yang sering saya gandrungi untuk ditonton adalah Andjiek Alinuruddin dari PS HW yang di kemudian hari menjadi pemain nasional PSSI.