Lihat ke Halaman Asli

Dualitas Kepentingan pada Elit: Studi Kasus Dualitas Kepentingan Seorang Legislator/DPRD Pada Perspektif Teori Elit Vilfredo Pareto

Diperbarui: 29 November 2023   10:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam dinamika politik sebuah negara, seringkali terjadi konflik kepentingan antara partai politik atau elit dengan kepentingan masyarakat secara umum. Fenomena ini merupakan salah satu aspek yang kompleks dan menarik dalam kajian ilmu politik. Untuk memahami lebih dalam mengenai dualitas ini, teori Vilfredo Pareto dapat memberikan landasan analisis yang kaya dan relevan.

Vilfredo Pareto, seorang sosiolog dan ekonom Italia pada awal abad ke-20, mengembangkan konsep "elitisme" yang menyoroti ketidaksetaraan kekuasaan dan dualitas kepentingan di dalam masyarakat. Menurut Pareto, masyarakat terbagi antara kelompok yang memiliki kekuasaan (elit) dan mayoritas yang menjadi objek kebijakan (non-elit). Dualitas kepentingan ini dapat dilihat dari perspektif elit dan non-elit.

Pertama-tama, partai politik atau elit sering kali memiliki kepentingan yang berfokus pada pemeliharaan dan perluasan kekuasaan mereka. Motivasi ini dapat melibatkan kontrol terhadap sumber daya ekonomi, legislasi yang mendukung kepentingan kelompok tertentu, atau pemeliharaan status quo yang menguntungkan elite politik. Sementara itu, kepentingan masyarakat umumnya berkaitan dengan kesejahteraan bersama, keadilan sosial, dan akses yang merata terhadap sumber daya.

Pareto menegaskan bahwa elitisme dan konflik kepentingan merupakan keniscayaan dalam setiap masyarakat. Dalam struktur politik, partai atau elit cenderung mencari strategi untuk memaksimalkan keuntungan mereka, bahkan jika hal itu tidak selalu sejalan dengan kepentingan mayoritas. Hal ini menciptakan ketegangan dan konflik di antara berbagai kelompok masyarakat.

Dengan merujuk pada teori Pareto, kita dapat menggali lebih dalam tentang bagaimana dualitas kepentingan ini memengaruhi pembentukan kebijakan dan dinamika politik. Analisis ini penting untuk memahami sejauh mana kebijakan yang dihasilkan oleh partai atau elit mencerminkan kebutuhan dan aspirasi masyarakat secara keseluruhan. Dengan demikian, dualitas kepentingan menjadi sorotan utama dalam merangkai kerangka pemikiran untuk mengevaluasi dinamika politik suatu negara.

Dalam konteks politik lokal di Indonesia, studi kasus dualitas kepentingan pada seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) menjadi penting untuk dijelajahi. Fenomena ini mencerminkan kompleksitas persaingan di tingkat legislatif daerah, di mana perwakilan rakyat berjuang untuk mengamankan kepentingan mereka masing-masing. Dalam upaya memahami dinamika ini, teori Vilfredo Pareto memberikan bingkai konseptual yang dapat memandu analisis kita terhadap konflik internal dalam lingkaran legislatif daerah.

Konflik/ Dualitas Kepentingan dalam DPRD

Ambil contoh seorang anggota DPRD yang mendukung proyek pembangunan infrastruktur besar di daerahnya. Kepentingan anggota DPRD tersebut mungkin bertentangan dengan anggota lain yang lebih menekankan alokasi anggaran untuk sektor pendidikan. Dualitas kepentingan muncul disini karena keduanya berusaha mewakili kebutuhan konstituennya, tetapi dengan fokus pada prioritas yang berbeda.

Dalam perspektif teori Pareto, kedua anggota DPRD tersebut dapat dianggap sebagai bagian dari "elite" yang bersaing untuk mempertahankan dan memperluas pengaruh mereka. Dualitas kepentingan menjadi jelas saat keduanya berkompetisi untuk mendapatkan dukungan dalam sidang DPRD. Sementara salah satu berjuang untuk mendapatkan persetujuan untuk proyek infrastruktur, yang lainnya mungkin berupaya memastikan alokasi anggaran yang lebih besar untuk pendidikan.

Dinamika Persaingan dan Kompromi.

Persaingan antara dua anggota DPRD tersebut menciptakan dinamika yang kompleks di dalam sidang legislatif. Mereka mungkin saling berusaha memperoleh dukungan dari rekan-rekan mereka untuk memastikan keberhasilan agenda masing-masing. Namun, dalam upaya mencapai hasil yang dapat diterima oleh mayoritas, mereka juga mungkin terlibat dalam negosiasi dan kompromi. Misalnya, mereka bisa sepakat untuk mendukung proyek infrastruktur dengan syarat bahwa sebagian anggaran dialokasikan untuk meningkatkan sektor pendidikan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline