Cerita pembagian sembako yang ricuh dan tak teratur kerap menghiasi berbagai berita di media. Di antara kita mungkin terenyuh, namun diantara kita pula tersimpan rasa dongkol dalam hati disaat melihat mereka semakin tidak peduli pada aturan.
Social distancing; phisical distancing; PSBB, apa pedulimu? Itulah kiranya yang ingin disampaikan mereka atau kita yang -merasa- membutuhkan bansos tersebut. Seolah menelanjangi akal sehat manusia, yang penting dapat memperoleh bantuan dan bisa makan merupakan alasan yang cukup logis ketika berada pada situasi yang penuh dengan ketidakpastian ini.
Sembilan bahan pokok yang -sebenarnya- tidak berjumlah 'sembilan', terkumpul dalam sebuah wadah yang keberadaannya sangat diharapkan masyarakat. Alih-alih bersabar, godaan untuk tidak bersabar pun seolah membisiki telinga mereka untuk terus mendekat dan mendekat; menerobos segala protokol yang digaungkan oleh pihak berwenang.
Sudah miskinkah kita, hingga nurani kita tak mampu melampaui nafsu kita?
Ya, sesungguhnya kita bukanlah miskin dan kekurangan harta gara-gara pandemi ini, namun -sejatinya- kita miskin hati nurani yang tak mampu mengkolaborasikan akal sehat dengan sikap kita ketika menghadapi situasa ini.
PHK; tak bisa bekerja; tak bisa bejualan, tak bisa mudik, sesungguhnya hanyalah alasan nafsu kita yang tak mampu mencapai derajat akal yang sehat. Kreatifitas terkungkung atas nama kesulitan dan karantina.
Sekecil itukah nyali kita ketika menghadapi kehidupan di hari ini? (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H