Diperingatinya hari perempuan Internasional yang jatuh pada hari Ahad, 8 Maret 2020 kemarin, mengingatkan kembali penulis pada salah satu pahlawan nasional dari kalangan perempuan yang begitu tangguh dalam memperjuangkan pendidikan. Sebut saja, Raden Dewi Sartika. Tokoh panutan di kalangan masyarakat Sunda ini telah diberi gelar pahlawan nasional oleh pemerintah sejak tahun 1966, karena kontribusi dan totalitasnya dalam memperjuangkan pendidikan terutama bagi kaum perempuan.
Perjuangan Dewi Sartika di dunia pendidikan dimulai sejak tahun 1902, dengan mengajarkan membaca, menulis, memasak, dan menjahit bagi kaum perempuan di sekitar tempat tinggalnya. Seiring berjalan waktu, pada tahun 1904, beliau melembagakan kegiatan belajar dan mengajarnya tersebut dengan mendirikan Sakola Istri atau Sekolah Perempuan. Di tahun 1914, Sakola Istri ini diperbaharui namanya menjadi Sakola Kautamaan Istri atau Sekolah Keutamaan Perempuan. Selain tersebar di wilayah Pasundan, Sakola Kautamaan Istri ini sempat pula menyebar ke luar pulau Jawa.
Pada tahun 1929, sekolah ini berganti nama kembali menjadi Sakola Raden Dewi (Sekolah Raden Dewi). Di dalamnya, Dewi Sartika berusaha mendidik anak-anak gadis agar kelak menjadi ibu rumah tangga yang baik, bisa berdiri sendiri, luwes, dan terampil. Maka, pembelajaran yang berhubungan dengan pembinaan rumah tangga pun banyak diberikan.
Untuk menutupi biaya operasional sekolah, ia membanting tulang mencari dana. Semua jerih payahnya itu tidak dirasakannya sebagai beban, tapi berganti menjadi sebuah kepuasan batin karena telah berhasil mendidik kaumnya.
Apa yang telah diperjuangkan Reden Dewi Sartika untuk kemajuan pendidikan tersebut adalah contoh kecil betapa besarnya peran perempuan dalam dunia pendidikan. Hingga sampai saat ini, walaupun tidak semua perempuan bekerja sebagi guru di lembaga pendidikan. Namun pada hakikatnya, keberadaan mereka telah menjadi lembaga pendidikan pertama bagi anak bangsa yang dilahirkan dari perutnya.
Ketika seorang anak dilahirkan, maka bahasa pertama yang paling mereka pahami adalah bahasa ibu, maka tak heran apabila pembelajaran pertama yang diperoleh anak tentang kehidupan adalah apa yang diajarkan oleh ibunya.
Sebut saja, Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Seperti yang telah diketahui bersama, guru-guru yang mengajar di sekolah-sekolah anak usia dini banyak didominasi oleh perempuan. Walaupun tidak ada aturan yang mewajibkan guru PAUD itu harus seorang perempuan, namun karena kodratnya tersebut, perempuan menjadi salah satu yang paling dipercaya untuk mengajar.
Ditambah lagi dengan didawamkannya berbagai gerakan kesetaraan gender yang diteriakkan banyak pihak, menjadikan posisi perempuan semakin kuat dalam pekerjaannya. Walaupun kasus perempuan yang menjadi korban pelecehan seksual kerap menjadi isu utama, namun bukan berarti peran perempuan di dunia pendidikan melemah. Malah, kiprah perempuan di lembaga pendidikan semakin dominan. Baik sebagai pendidik, maupun sebagai tenaga kependidikan. Bahu membahu memajukan pendidikan bersama kaum lelaki.
Tanpa peran mereka, pendidikan tidak ada apa-apanya. Selamat kepada kaum perempuan. Jangan pernah lelah melahirkan dan mendidik anak bangsa.*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H