Ujian itu perlu. Ujian dimaksudkan untuk memastikan kelayakan seseorang naik tingkat. Karena itu, ujian bukan batu sandungan. Ujian adalah batu lompatan. Penguji mesti mengenal kadar ujian yang selaras dengan kadar diri yang diuji. Ujian tidak boleh terlampau ringan, juga tidak boleh terlampau rumit. Ujian mesti proporsional, penguji harus profesional.
Ada dua penguji. Penguji kehidupan dan penguji sekolahan. Kita simak yang pertama. Penguji kehidupan menciptakan hidup dan mati sebagai ujian. Dari ujian tersebut, akan terseleksi sesiapa yang paling baik amalnya, sesiapa yang tetap komitmen menjaga kualitas kebaikannya, apa dan bagaimana pun kondisi hidupnya.
Firman-Nya, Allazi kholaqol mauta wal hayata, liyabluwakum ayukum ahsanu 'amala (Q.S Al-mulk:2). Perhatikan, orang-orang baik diuji hingga menampak siapa yang terbaik.
Penguji kehidupan tidak menguji kecuali sesuai dengan kadar kemampuan yang diuji. Tidaklah diuji seseorang melebihi kadar kemampuannya. Laa yukallifullahu nafsan Illa wus'aha (Q.S Al-Baqarah:286). Makin berkelas diri, makin berkelas pula level ujian. Pun sebaliknya. Ini yang dimaksud dengan ujian proporsional.
Dengan ini, jika anda gagal dalam ujian kehidupan, dipastikan itu bukan lantaran ujian yang terlalu berat. Anda gagal karena anda gampang menyerah dalam berjuang.
Yang kedua, penguji sekolahan. Sekolahan adalah semua institusi yang di dalamnya ada pengujian, terkhusus dalam dunia akademis (kampus). Penguji jenis ini seringkali tidak profesional. Alasannya jelas, the power of orang dalam. Juga, acapkali tidak proporsional. Materi ujian jika tidak terlalu ringan, maka terlalu berat. Bahkan, seseorang bisa dan biasanya lulus mulus berkat fulus, atau deal-deal lainnya di luar profesionalitas.
Ujian seringkali dijadikan penguji sebagai ajang unjuk kuasa. Penguji menyodorkan serangkaian pertanyaan yang mereka yakin, yang diuji tidak akan bisa menjawabnya. Yang diuji tak berdaya dibuatnya.
Kadang pula, yang diuji tak berdaya, tak mampu berkata-kata. Bukan karena sulitnya materi ujian, tapi soal menjaga stabilitas emosi penguji. Menjaga perasaan penguji adalah faktor penentu kelulusan. Implikasinya, yang diuji bermental kerdil. Mereka tidak berani berbantah-bantahan dengan penguji, kendati mereka tahu betapa irasionalnya materi ujian dan betapa dangkalnya isi kepala penguji.
Lantas apa yang harus dilakukan? Dalam ujian kehidupan, jangan cepat menyerah, jangan berputus asa. Hadapi ujian dengan keyakinan bahwa anda akan menang. Yakinlah bahwa penguji kehidupan tidak akan mempermainkan atau menzalimi anda sedikitpun.
Dalam ujian sekolahan, uji pengujinya. Uji pengujinya dengan mengkritisi materi ujian; gagasan atau hafalan, interpretatif atau normatif. Mahasiswa yang semestinya dididik secara pedagogik dan dialektik, tidak seharusnya diuji dengan hafalan atau soalan normatif. Dengan begitu, para penguji turut membidani lahirnya pikiran-pikiran original dan kritis.
Adapun ujian hafalan, cukup tanyakan pada chat gpt. Chat gpt merupakan penghafal dan pengutip terbaik, bukan pemikir atau analisis. Ujian harus melahirkan para analisis yang baik, bukan para pengutip yang baik.