Tiga hari sebelum Lajana berangkat ke kota. Orang tuanya tak berhenti berpesan. "Nanti kalau kau sudah di kota, hati-hati dengan orang yang berambut gondrong" Kata bapaknya. Sementara dari arah dapur, Ibunya juga menyeletuk "Hati-hati juga kalau menyebarang di jalan, kata Pak Kades, ada banyak kendaraan di sana, tidak kayak disini, hanya tai sapi dan tai kerbau yang banyak"
Ibu dan Bapaknya juga tak berhenti mengingatkan kepada Lajana untuk tak lupa mengirim surat setiap bulan jika Ia sudah sekolah di kota. Lajana kebingungan, Ia sangat tahu kalau kedua orang tuanya itu buta huruf.
"Paling-paling surat itu nanti akan di bawa ke Pak. Kades untuk di bacakannya," Katanya di kepala.
Tapi bagaimanapun, Lajana tetap bangga dengan mereka berdua. Kecekatannya berkerja di sawah membuatnya dapat mengenyam pendidikan dari SD hingga tamat SMP. Meski beberapa sawah itu, hanyalah sawah garapan milik Pak.Kades dan beberapa orang yang berkelebihan di kampung itu.
Pernah satu waktu, bapaknya berkata kepadanya. Hari itu Lajana masih di bangku kelas dua SMP.
"Kalau kau tamat nanti, kau harus lanjutkan sekolahmu di Makassar"
Lajana mengelaknya waktu itu, karena ia tahu, sekolah di kota itu butuh biaya besar, tapi bapaknya keras kepala, dan hampir saja ia memukulnya karena kesannya tak berniat menurutinya.
"Kau mau seperti bapak, yang sampai tua bisanya hanya jadi babu orang? apa kau mau jadi penggembala? setiap hari hanya melihat pantat sapi. Selama betisku masih kuat, kau tak perlu takut masalah biayanya. Apapun itu kau harus tetap sekolah" Bentaknya dengan mata sedikit melotot, dan tangannya ia goyang-goyangkan, membuat api rokok tembakau gulungnya jatuh di lantai papan. Mau tidak mau Lajana menganggukkan kepalanya pelan, meski ada sedikit sangsi di dalam hatinya, mengingat kondisi ekonomi keluarganya sangatlah tidak meyakinkan.
Namun apa yang di ucapkan bapaknya teruji oleh waktu. Akhirnya Lajana mampu menamatkan sekolahnya di SMP. Dan setiap Muda-mudi yang ingin melanjutkan pendidikannya ke jenjang SMA, maka mau tak mau mereka harus melanjutkannya di Makassar, mengingat tak ada satu pun SMA atau setingkatnya di kampung ini, bahkan di seantero kecamatan.
Pada sore hari, itu setelah beberapa hari Lajana sudah mengantongi surat kelulusannya. Salah seorang teman baiknya datang berkunjung ke rumahnya. Namanya Awaluddin, di panggilnya Udin. Waktu itu Lajana sedang melamun. Ia duduk di kursi bambu dekat jendela. Matanya selalu memandang keluar lewat sela jendela, seolah mengamati matahari perlahan tenggelam di balik rimbunan pohon ketapang di samping rumahnya. Sementara dari arah tangga, suara kaki Udin berderap perlahan, naik satu persatu mengikuti jenjang lapisan kayu nangka itu. Udin membuka pintu itu, dan mendapati karibnya yang tampak terdiam dalam tatapan mata yang kosong.
Udin adalah teman senasib seperjuangan Lajana. Mereka memulai pertemanannya waktu mereka sama-sama masuk di SD hingga tamat SMP, dan mereka berdua tak pernah terpisah bangku.
Namun Udin tidaklah semiskin keluarga Lajana. Ia berasal dari keluarga yang mapan. Kedua orangtuanya adalah guru pegawai negeri di SD tempat Lajana dan Udin mengenyam pendidikan. Udin termasuk salah satu siswa yang pintar di sekolah, saking pintarnya terkadang ia memanfaatkan keluguan dan kepolosan karibnya, Lajana.
"Kau mau ikut aku pergi mendaftar di Makassar besok?" Kata Udin sesaat setelah ia memasuki rumah.
Lajana tidak menjawab apa-apa, hanya tangannya yang tak berhenti mengelusi keningnya.