Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Ridwan

Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Islam Sultan Agung

Ironi Pendidikan di Indonesia Pada Masa Pandemi

Diperbarui: 15 Januari 2021   12:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Oleh Ira Alia Maerani &  Muhammad Ridwan 

Sejak diumumkan untuk pertama kali kasus covid 19 di Indonesia pada 2 Maret lalu, penyebaran virus covid 19 semakin meluas dan mengkhawatirkan. Maka untuk mengantisipasi segala kemungkinan terburuk, dua minggu berselang pemerintah memutuskan untuk meliburkan seluruh kegiatan pembelajaran di sekolah mulai dari jenjang PAUD hingga perguruan tinggi. Pemerintah menginstruksikan seluruh sekolah dan perguruan tinggi untuk mengadakan segala kegiatan pembelajaran via daring.

Apabila dipahami lebih dalam, tentu saja keputusan ini sangat efektif dalam mencegah penyebaran virus covid 19. Hal ini terbukti keampuhannya di negara Cina. Kasus covid 19 di Cina melaju dengan cepat, berbagai upaya dilakukan pemerintah Cina untuk menekan penyebaran virus ini. Salah satu cara yang efektif itu adalah meliburkan seluruh aktivitas pendidikan Cina sepenuhnya. Hingga akhirnya kasus covid 19 di Cina berhenti total. Akan tetapi itu di negara Cina, apa kabar dengan Indonesia?

Sejak 6 bulan sekolah diliburkan oleh pemerintah, atau lebih tepatnya di rumahkan. Kita tahu bahwa kasus covid 19 di Indonesia bukannya menurun tapi malah semakin beringas. Kasus positif bahkan tembus hampir 4 ribu kasus perhari. Penambahan kasus ini kebanyakan berasal dari klaster keluarga dan pekerja kantoran. Pemerintah sudah mengusahakan berbagai cara untuk menekan penyebaran virus ini, salah satu nya itu meliburkan kegiatan pendidikan. Cara ini memang efektif dan sukses untuk mencegah munculnya covid 19 di klaster pendidikan. Akan tetapi sama saja hampa apabila tidak diimbangi dengan kebijakan lain yang tidak dipatuhi oleh warga Indonesia itu sendiri.

Ketika dunia pendidikan dihentikan untuk sementara, malah dunia pariwisata dibuka dengan lebarnya. Berbagai tempat wisata dibuka kembali, di media massa diberitakan bahwa mereka membuka tempat wisata tersebut dengan protokol kesehatan yang ketat. Mungkin itu hanya beberapa saja yang terekspos media, bagaimana dengan yang tidak terekspos? Banyak tentu saja. Entah berapa persen tempat wisata yang menerapkan protokol kesehatan dengan ketat di Indonesia saat ini. Bisa jadi persennya hanya hitungan jari.

Memang sulit untuk menghentikan penyebaran virus ini. Akan tetapi kita sebagai manusia harus bisa menekan penyebaran virus ini dengan mematuhi kebijakan pemerintah. Semua yang dilakukan pemerintah  semata-mata hanya untuk melindungi rakyatnya. Sebelum vaksin ditemukan kunci untuk menekan penyebaran covid 19 itu hanya pada masyarakatnya saja. Kalau rakyatnya patuh terhadap  pemerintah maka covid 19 bisa mereda sedikit demi sedikit.

Kesenjangan Media Pendukung

Kebijakan pemberhentian kegiatan pendidikan memang bisa dibilang sukses. Namun pembelajaran daring tidak semudah yang dipikirkan. Ketikaa semua berpikir bahwa menyenangkan sekali belajar daring karena tidak perlu ribet keluar rumah, tinggal duduk manis di rumah dan bahkan bisa tiduran. Itu ialah pemikiran anak-anak elite, orang kaya dan pejabat. Namun pemikiran menyenangkan itu tidak sepenuhnya benar. Tidak semua anak itu memiliki media pendukung yang sama untuk belajar daring seperti laptop dan gawai.

Bahkan pernah terekspos oleh televisi bahwa sekumpulan murid sedang belajar bersama, akan tetapi bukan belajar bersama dengan gawai atau laptop tapi dengan sebuah Handy Talkie yang di dengarkan bersama-sama. Ini merupakan salah satu contoh kecil dari kesenjangan media pendukung belajar daring. Mungkin masih banyak lagi anak yang lebih kesulitan mengikuti pembelajaran daring karena media pendukung itu tidak ada. Masih mending ada alat untuk komunikasi seperti Handy Talkie, tapi bagaimana dengan mereka yang bahkan tidak punya media sama sekali.

Terkadang sekolah maupun perguruan tinggi menuntut untuk bisa melakukan tatap muka melalui video seperti Zoom, Google Meet dan Jitsi. Tapi apakah pihak sekolah ataupun dosen tidak bisa memahami kekurangan media pembelajaran yang siswa maupun mahasiswa itu hadapi? 

Apalagi  mereka hanya bisa menuntut dan menuntut tanpa melihat berbagai fakta yang ada. Tuntutan itu yang membuat mereka harus berusaha agar tetap bisa ikut pembelajaran daring mulai ada yang meminjam gawai ataupun laptop tetangga. Bahkan ada juga seorang anak yang terpaksa harus bekerja sampingan agar bisa membeli gawai untuk kepentingan pembelajaran daring tersebut.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline