Jogja Berhenti Nyaman[1]
Jogja, Mau Jadi Apa?
Saya ingat betul dulu ketika mengambil mata kuliah teori perencanaan di PWK UGM, salah satu dosen pengampu mata kuliah tersebut bertanya: “menurut anda, selain kota pelajar, Jogja itu kota apa?”. Saya dan teman-teman ketika itu kemudian sontak menjawab dengan jawaban yang beragam, mulai dari kota budaya, kota sepeda, kota angkringan, dll. Karakter-karakter tersebut memang benar adanya—terasa sangat kuat melekat pada Jogja di kala itu.
Sekarang, kurang lebih lima tahun setelah itu, saya sering bertanya-tanya pada diri sendiri, “masihkah karakter-karakter itu melekat kuat pada kota Jogja?”. Jika melihat kondisi di lapangan dgn keterbatasan daya analisis saya, saya menilai karakter-karakter itu mulai mengabur. Saya merasa Jogja kini bukan lagi kota budaya, ketika melihat banyaknya papan reklame masif yang meriasi setiap sisi wajah kota dan telah menenggelamkan banyak identitas budaya Jogja. Bukan lagi kota sepeda, ketika melihat data bahwa jumlah kendaraan bermotor bertambah 8.900 unit setiap bulannya dan kemacetan mulai bermunculan sporadis[2]. Bukan lagi juga kota angkringan. Lebih tepatnya mungkin disebut kota hotel saja, karena jumlah hotel di Jogja kini telah mencapai jumlah 1.160 unit[3].
Data dan fakta seperti itu, membuat saya bertanya kembali: sebenarnya Jogja ini mau jadi kota seperti apa? Jika Bandung jelas dengan visinya ingin menjadi basis kota kreatif dan smart city, dan juga surabaya ingin menjadi smart dan green city, Jogja mau jadi apa?
Pembangunan hotel, peningkatan jumlah kendaraan bermotor, konversi lahan terbuka terus terjadi tanpa mampu terbendung. Pada kuartal I 2014 saja, terdapat 32 hotel bintang 3 hingga 5 dan akan melonjak menjadi sekitar 92 hotel dalam dua tahun ke depan.[4] Peningkatan jumlah kendaraan yang dramatis juga menyebabkan kondisi kemacetan semakin memburuk. Di tahun 2012 saja, VC ratio beberapa jalanan di Jogja telah mencapai 0,8 (jika 1 macet total).[5]
Yang terbayang oleh saya pribadi, salah satu karakter yang kuat dari Jogja saat ini adalah ketimpangan. Ketimpangan ekonomi yang ditunjukkan oleh indeks gini kota Jogja dari tahun ketahun semakin meningkat. Pada tahun 2008 indeks gini Jogja adalah 0,36 dan pada 2013 berada pada 0,413 [6]. Indeks tahun 2013 tersebut merupakan indeks tertinggi kedua di Indonesia dan berada di atas rerata nasional. Arti indeks tersebut adalah: si kaya makin kaya dan si miskin makin miskin dari tahun ke tahun, dan tentu potensi konflik sosial semakin besar. Hanya saja, sepertinya kita masih bisa berharap pada tameng budaya untuk meredamnya.
Menolak Modernisasi?
Mungkin saja ada yang beranggapan bahwa data dan fakta yang saya sebutkan di atas adalah diantara konsekuensi yang tak terelakkan dari modernisasi. Sehingga, menurut anggapan ini, menolak dan menyalahkan data dan fakta tersebut sama dengan menolak dan menyalahkan modernisasi.
Hemat saya, bukan demikian keadaannya. Kita tidak sedang menolak modernisasi dan bukannya ingin Jogja tetap seperti yang dirancang oleh perencana awalnya, Pangeran Mangkubumi. Tapi yang kita harapkan adalah bagaimana agar di tengah arus modernisasi, kenyamanan itu tetap bertahan. Modernisasi dan kenyamanan kota bukanlah hal yang bertentangan jika dikelola dengan baik. Banyak sekali best practice bagaimana kota-kota di eropa yang berhasil mempertahankan kenyamanan kotanya di tengah arus modernisasi dengan tetap mempertahankan identitas asli kota mereka.
Lunturnya Identitas Kota karena Tirani Pasar
Perwujudan fisik kota yang demikian adalah bukti bahwa kekuatan pasar masih mendominasi perwujudan kota kita. Kita masih belum merdeka untuk mengekspresikan harapan-harapan dan keinginan-keinginan kita terhadap kota, atau minimal mempertahankannya sebagaimana yang ada. Padahal, salah satu prinsip dasarnya: kota merupakan perwujudan fisik dari artikulasi kebudayaan sebuah masyarakat. Yang namanya papan iklan dan hotel yang mendominasi visual kota tentu market oriented. Bukan culture oriented.
Saya yakin, banyak penduduk asli Jogja yang menyayangkan berbagai kondisi yang ada. Dan saya yakin pula mereka merasa tidak bisa berbuat apa-apa ketika menghadapi kekuatan pasar yang besar. Sehingga masyarakat bingung kepada siapa harusnya mengadu?
Instrumen peraturan dan perizinan kita yang berlapis ternyata tak juga bisa menimbulkan kenyamanan yang kita inginkan. Kita sudah memiliki instrumen rencana tata ruang wilayah dari level nasional, provinsi, sampai kabupaten/kota yang dilengkapi dengan rencana rinci hingga zonasi. Kita juga sudah memiliki instrumen amdal, izin mendirikan bangunan, izin gangguan, izin pemanfaatan lahan, dll. Bahkan kita telah memiliki UU No 13/2012 tentang Keistimewaan DIY. Ternyata untuk mengukuhkan Jogja Berhati Nyaman sebagai salah satu ikon keistimewaan belum bisa dengan itu semua.