Siapa yang tidak mengenal Hary Tanoeseodibjo, taipan Indonesia yang merajai berbagai sektor bisnis terutama media massa. Jumlah kekayaannya terhitung sebagai salah satu dari lima orang terkaya di Indonesia. Bahkan majalah Forbes menobatkan dia sebagai Businessman of the Year.
Sebagai salah satu pemodal besar di Indonesia, Hary Tanoe tentu berkawan dengan banyak pesohor lain, baik di tanah air maupun di mancanegara. Pesohor yang dimaksud adalah para taipan lainnya, pejabat publik, politikus, selebritis, dan masih banyak lagi. Melalui MNC Group Hary Tanoesoedibjo menjelma bagai pusat pusaran aktivitas ekonomi. Setiap pelaku bisnis dan politik tentu berlomba masuk ke pusaran tersebut, beruntung jika semakin dekat dengan pusat pusaran. Bahkan untuk pengusaha lokal, foto bersama dengan Hary Tanoesoedibjo dapat menjadi salah satu “modal” untuk mendapatkan kepercayaan dari investor atau perbankan. Terkesan berlebihan, namun begitulah kenyataannya.
Publik tentu membayangkan Hary Tanoe adalah sosok yang sangat diuntungkan dari diterapkannya mekanisme pasar bebas di Indonesia. Konglomerat yang menguasai banyak lini bisnis ini sudah memiliki fondasi bisnis yang mapan, siap bersaing dengan siapapun dalam kontes dagang. Tidak dapat dipungkiri bahwa memang mekanisme kapitalistik itulah yang membuat perusahaan besar semakin besar dan tidak protektif terhadap pelaku ekonomi kecil.
Namun sisi lain Hary Tanoe ternyata tidak serakus yang kita imajinasikan. Berbekal aset kekayaan yang tercatat sebagai salah satu orang terkaya tersebut, Hary Tanoe konsisten mengkampanyekan pentingkan ekonomi kerakyatan sebagai fundamen ekonomi Indonesia. Selalu dia sampaikan bahwa sistem ekonomi yang tepat bagi Indonesia adalah ekonomi kerakyatan, yakni ekonomi yang digerakan oleh pilar-pilar ekonomi yang menyerap tenaga mayoritas seperti petani, nelayan, buruh, dan pelaku UMKM.
Menurutnya Indonesia belum siap menerapkan ekonomi bebas sepenuhnya selama kelompok ekonomi lemah belum terproteksi oleh regulasi yang jelas. Jika tidak diproteksi atas dibiarkan masuk ke arena persaingan bebas maka yang menang adalah perusahaan besar yang biasanya menggunakan modal asing sehingga hasil perputaran ekonomi di Indonesia tidak dirasakan sebagai pertumbuhan oleh Indonesia karena uang tersebut ditarik kembali ke negara asal modal asing tersebut.
Ternyata kampanye ekonomi kerakyatan Hary Tanoe bukan isapan jempol semata. Dengan Partai Perindo, dia membuktikan komitmennya dengan melakukan pembinaan terhadap pelaku ekonomi kerakyatan. 10.000 gerobak gratis yang disalurkan pada UMKM terbukti mampu menggenjot denyut ekonomi di lapisan menengah ke bawah. Koperasi nelayan dan petani yang didirikan di banyak daerah diharapkan mampu melepaskan petani dan nelayan dari jeratan tengkulak dan pengijon yang semena-mena.
Saya pikir langkah-langkah kongkret Hary Tanoe harus kita apresiasi. Selain karena itikad baik untuk Indonesia sejahtera, saya pikir kompetensi dia dalam bidang ekonomi baik makro mikro sudah dapat dibuktikan dengan cemerlang sehingga tidak ada keraguan jika sesuatu dikerjakan oleh ahlinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H