Lihat ke Halaman Asli

Pluralisme dalam Timbangan

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Fenomena keragaman agama dan keragaman aliran kegamaan telah menyita pikiran para ilmuwan keagamaan untuk merumuskan sebuah konsepsi filosofis- teologis demi terciptanya harmonisasi dan ketenteraman sosial. Saat yang sama gelombang globalisasi yang terasa tak mampu terbendung lagi telah membuka ruang interaksi yang massif diantara berbagai unsur kebudayaan. Sehingga menutup diri terhadap pluralitas masyarakat hanya akan membuat kita berkembang satu dimensi.

Pada ranah inilah pluralisme menjadi diskursus yang penting untuk kita diskusikan sama-sama. Sekelumit pertanyaan menggelantung pada diskursus ini. Adakah kemutlakan kebenaran? Diantara sekian banyak agama dan sekte keagamaan,manakah yang benar, ataukah seluruhnya benar? Apa gerangan yang menjadi tujuan Tuhan sehingga agama dan sekte yang beberbeda tetap eksis pada saat bersamaan? Apa itu beragama? Bahkan apa itu Islam?

Seringkali pluralisme dimaknai sangat negatif. Hal ini disebabkan karena Pertama, Pluralisme sebagai kosa kata yang dianggap membawa hegemoni kebudayaan tertentu yakni kebudayaan barat. Pluralisme mendapat kecaman ( sebagaimana istilah sekularisasi mendapat kecaman bertubi- tubi dari beberapa ulama Indonesia ketika pertama kali disuarakan oleh Nurkholis Majid) karena di anggap sebagai Internalisasi nilai- nilai kebudayaan barat pada Islam. Kedua, pluralisme memiliki makna “rabaan” sebagai bentuk asimilasi atau pembenaran dan persamaan dari setiap kelompok agama. Persamaan ragam keagamaan akan mengakibatkan relatifitas kebenaran setiap agama yang diasumsikan oleh setiap pemeluk agama memiliki kemutlakan.

Pluralisme memiliki banyak wajah, menurut  Musa Kazhim yang mencuat antara lain:Pertama, pluralisme moral, berbentuk ajakan untuk menyebarkan toleransi antar penganut agama. Kedua, pluralisme religius soteriologi (soteriological relious pluralisme).  Keyakinan bahwa ajaran non kristen misalnya juga bisa mendapatkan keselamatan kristiani.  Mula- mula ini diperkenalkan oleh John Hick. Sebuah klaim keselamatan bahwa pemeluk agama lain juga mendapatkan keselamatan. Ketiga, pluralisme religius epistemologis. Bahwa agama dunia memiliki kedudukan yang sama dalam pentas sejarah untuk menemukan justifikasinya. Sebagaimana keagamaan kita pada umumnya terbangun dari kesimpulan- kesimpulan yang di bangun oleh sejarah. Keyakinan keberagamaan seseorang mewakili periode sejarah dan aliran pemikiran tertentu. Keislaman di Indonesia misalnya sangat organisasional. Keempat, pluralisme religius aletis yang menganggap, walaupun ada fakta bahwa setiap agama memberikan jalan- jalan yang berbeda namun itu semua benar jika ditinjau dari pandangan dunianya masing- masing. Dan yang Kelima, pluralisme religius deontis berkaitan dengan kehendak dan perintah Tuhan. Sejarah keagamaan dilihat sebagai kehendak Tuhan untuk menyempurnakan wahyu-Nya. Jika islam dianggap sebagai agama terakhir monoteisme maka kebenaran seluruh ajaran Tuhan berada pada pilihan Islam.

Dikalangan cendekiawan Islam sendiri (sebagaimana agama-agama lainnya) berkembang pro-kontra tentang pluralisme terkhusus klaim keselamatan pada keragaman agama. Ada beberapa ayat yang diasumsikan menjadi landasan kuat pluralisme dan memungkinkan ruang keselamatan bagi agama diluar Islam. Dalam QS.2:62 yang diulang dengan redaksi yang berbeda pada QS.5:69 dan QS.22:17. QS.2:6 kerap kali “dipertengtangkan” dengan QS.3: 85 yang telah memansukhnya.

Paradoksal pemaknaan Al-Qur’an tentu bukan karena Al-Qur’an itu sendiri bertentangan tetapi upaya memahamilah yang harus holistik. Perdebatan lebih jauh tentang ayat QS. 3:85 oleh kaum pluralis haruslah dikembalikan pada pemaknaan “Islam”. Islam dalam QS. 3:85 adalah universal bukan Islam dalam pemaknaan hanya agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw sebab Islam juga telah dilekatkan pada agama-agama terdahulu semisal pada QS.2: 131-132.

Terlepas dari pro-konta diatas (selayaknya kembalikan pada ahlinya) yang pastinya agama bukan untuk Tuhan tetapi untuk Manusia. Pembelaan terhadap agama adalah pembelaan Nilai- nilai bukan simbol- simbol dan kanalisisasi keanggotaan.`Keselamatan bukan dari angan- angan tetapi tindakan nyata (amal saleh) (QS. 4:123).Pluralitas telah menjadi hukum Tuhan sedangkan dunia adalah medan kreatifitas moral manusia untuk berbuat kebajikan sebanyak mungkin dan perbedaan adalah tugas Tuhan untuk menyelesaikannya bukan oleh manusia dengan cara apapun (QS.5: 48). Jika kita bertanya kepada agama- agama yang berbeda maka ada kesamaan antara Islam dengan agama-agama lainnya sebagaimana QS.29:46, QS.29:61 dan QS.43:87.

Kekafiran  terasa kurang tepat jika dengan serta merta dilekatkan kepada semua orang diluar Islam dan kafir tidak serta merta memiliki konsekuensi tidak selamat, untuk menyelaesaikan ini kita harus mempertimbangkan 3 hal:

pertama, secara persis kepada siapa ancaman “kafir” itu dianjurkan;

kedua, dalam situasi seperti apa ayat “kafir” dturunkan dan

ketiga, apakah itu mesti dijalankan?. Sebagaimana menurut Dr. muhammad Legenhausen setelah pengkajian terhadap teks Al-Qur’an semisal di QS.10:4 dan QS. 4: 115.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline