Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Rafly Setiawan

Manager Pemantauan Nasional Netfid Indonesia

Belajar dari Pilkada DKI Jakarta 2024

Diperbarui: 29 November 2024   21:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: https://www.cna.id/indonesia/47-golput-di-pilkada-dki-jakarta-2024-meroket-hampir-25-tertinggi-dalam-sejarah-24906

Pilkada DKI Jakarta 2024 memberikan banyak pelajaran penting dalam dinamika politik Indonesia, termasuk di dalamnya pembentukan narasi dan citra yang bisa berpengaruh besar pada hasil Pemilihan.

Salah satu fenomena yang cukup menarik, kontroversial dan menyita banyak perhatian adalah narasi soal "janda" yang dibangun oleh tim kampanye Ridwan Kamil-Suswono, yang kemudian berujung pada kekalahan mereka.

Kendati awalnya narasi tersebut mungkin tampak sekedar strategi politik untuk meraih simpati atau dukungan tertentu, namun pada kenyataannya justru menjadi boomerang yang merugikan kandidat 01 tersebut.

Oleh sebab itu, penulis akan mencoba menelaah narasi "janda" yang membelenggu Ridwan Kamil-Suswono yang mengakibatkannya kalah dalam kontestasi. Mari kita telaah bersama-sama.

Kekuatan Narasi dalam Politik

Narasi dalam politik memiliki peran yang sangat penting dalam membentuk opini publik, dan mempengaruhi keputusan pemilih. Menurut teori framing dalam ilmu komunikasi, cara suatu peristiwa atau fenomena dibicarakan akan membentuk persepsi masyarakat terhadap hal tersebut.

Dalam konteks ini, narasi "janda" yang dicanangkan oleh tim kampanye Ridwan Kamil-Suswono berusaha untuk membangun citra tertentu mengenai calon ini. Namun narasi tersebut yang seharusnya bisa memperkuat posisi mereka, malah menimbulkan persepsi negatif yang sulit untuk dihapuskan.

Oleh karena dalam budaya Indonesia terutama DKI Jakarta, status sosial perempuan (termasuk status "janda") seringkali dipandang melalui lensa stereotip.

Narasi "janda" yang dibangun oleh tim kampanye bisa jadi terkesan memanfaatkan status pribadi calon atau keluarganya untuk menarik simpati. Namun, pada saat yang sama dapat mengundang pandangan negatif.

Beberapa survei menunjukkan bahwa pemilih di Indonesia cenderung lebih konservatif dalam hal moralitas dan norma sosial. Ini menjadi masalah apabila narasi yang dibangun tidak sesuai dengan nilai-nilai yang mereka junjung (Hernadi, 2015).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline