Nama Penulis : Muhammad Rafi' Firdaus
Dosen Pengampu : Saeful Mujab, S.Sos, M.I.Kom
Mata Kuliah : Komunikasi Politik
ABSTRAK
Perkembangan media sosial telah menghadirkan transformasi dalam komunikasi politik, khususnya selama kampanye Pemilu 2024 di Indonesia. Studi ini bertujuan untuk menganalisis peran media sosial dalam pembentukan opini publik politik, dengan fokus pada algoritma, fenomena ruang bergema dan strategi kampanye terkomputerisasi. Topik ini dipilih karena saat ini Indonesia sedang menuju pemilu pada tahun 2024 dan kita merupakan generasi yang kehidupannya banyak dipengaruhi oleh media sosial Hasil penelitian menunjukkan bahwa platform seperti TikTok, Instagram, dan YouTube menjadi instrumen utama dalam menyampaikan pesan politik, meskipun fenomena channel bubble memperparah polarisasi. Media sosial juga berperan dalam meningkatkan partisipasi politik generasi muda, dengan menciptakan wacana ruang yang inklusif. Namun, tantangan seperti disinformasi dan kurangnya literasi tingkat lanjut menjadi ancaman bnagi kualitas demokrasi. Studi ini memberi dorongan pada regulasi media sosial, peningkatan literasi tingkat lanjut, dan strategi komunikasi yang lebih etis oleh para kandidat politik. Dengan memahami kompleksitas interaksi antara media sosial dan opini publik, penelitian ini memberikan wawasan bagi pengembangan komunikasi politik yang lebih demokratis di zaman maju. Media sosial telah menjadi kekuatan dominan dalam kampanye politik, terutama dalam konteks Pilkada Serentak Tahun 2024 di Indonesia. Artikel ini menganalisis peran media sosial dalam kampanye pasangan calon Wali Kota Bekasi, Tri Ardhianto dan Abdul Haris Bobihoe. Melalui pendekatan kualitatif, penelitian ini mengidentifikasi strategi yang digunakan oleh pasangan calon dalam memanfaatkan platform media sosial untuk membangun citra, menyampaikan pesan politik, dan meningkatkan partisipasi pemilih. Hasilnya menunjukkan bahwa media sosial tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai ruang interaksi yang memperkuat keterlibatan dalam proses demokrasi masyarakat.
PENDAHULUAN
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah membawa perubahan signifikan dalam lanskap politik kontemporer, khususnya melalui penetrasi media sosial yang semakin masif dalam kehidupan masyarakat. Di Indonesia, fenomena ini mencapai momentumnya yang krusial selama masa kampanye Pemilu 2024, di mana media sosial tidak hanya menjadi saluran komunikasi politik, tetapi juga berperan sebagai katalisator dalam pembentukan opini publik. Menurut informasi (We Are Social, 2023), penetrasi pengguna media sosial di Indonesia mencapai 167,8 juta pengguna aktif, yang merepresentasikan 60,4ri total populasi. Angka ini menunjukkan potensi besar media sosial sebagai instrumen pembentukan opini masyarakat dalam konteks politik nasional. Dinamika politik pada masa komputerisasi telah mengalami transformasi esensial, di mana ruang publik virtual menjadi medan pertarungan wacana dan pembentukan opini. (Hafid et al., 2024) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa 78D44 pemilih muda di Indonesia menjadikan media sosial sebagai sumber utama informasi politik mereka. Fenomena ini menciptakan paradigma baru dalam komunikasi politik, di mana interaktivitas dan viralitas konten menjadi faktor penentu dalam membentuk persepsi publik terhadap isu-isu politik dan kandidat pemilu.
Kompleksitas peran media sosial dalam pembentukan opini publik semakin terlihat jelas selama masa kampanye Pemilu 2024. Platform-platform seperti Twitter, Facebook, Instagram, dan TikTok menjadi medan pertempuran terkomputerisasi yang mempengaruhi preferensi politik masyarakat. Penelitian yang dilakukan oleh (HW et al., 2022; Rahmawati, 2018) menunjukkan bahwa algoritma media sosial berperan signifikan dalam menciptakan ruang gema (resound chamber) yang memperkuat polarisasi politik di masyarakat. Fenomena ini memunculkan tantangan baru dalam upaya mewujudkan diskursus politik yang sehat dan demokratis. Problematika yang muncul dari intensifikasi penggunaan media sosial dalam kampanye politik juga berkaitan dengan fenomena disinformasi dan misinformasi. Menurut laporan Masyarakat Melawan Fitnah Indonesia (MAFINDO) (2023), terjadi peningkatan signifikan dalam penyebaran hoaks politik menjelang Pemilu 2024, dengan lebih dari 60% konten hoaks disebarkan melalui panggung media sosial. Situasi ini menghadirkan tantangan serius bagi kualitas demokrasi Indonesia, mengingat informasi yang akurat merupakan prasyarat bagi pengambilankeputusan politik yang rasional oleh masyarakat.
Di sisi lain, media sosial juga memberikan kesempatan yang belum pernah ada sebelumnya bagi partisipasi politik warga negara. Studi yang dilakukan oleh (Dania & Nisa, 2023) mengungkapkan bahwa stage media sosial telah menciptakan ruang musyawarah politik yang lebih inklusif, memungkinkan kelompok-kelompok yang sebelumnya terpinggirkan untuk terlibat dalam diskusi politik nasional. Hal ini menandai transformasi signifikan dalam pelaksanaan demokrasi partisipatif di masa mendatang. Fenomena kampanye politik di media sosial selama Pemilu 2024 juga menunjukkan pergeseran strategi komunikasi politik para kandidat dan tim kampanye. (Dharta, 2024) mencatat bahwa terjadi peningkatan investasi yang signifikan dalam kampanye tingkat lanjut, dengan perkiraan 40ribu menambah anggaran kampanye untuk mengalokasikan strategi media sosial. Pergeseran ini mencerminkan pengakuan terhadap peran strategis media sosial dalam membentuk preferensi politik pemilih kontemporer.
Aspek penting lainnya adalah dampak algoritma media sosial terhadap pembentukan opini publik. Penelitian (Bahram, 2023) mengungkapkan bahwa personalisasi konten berbasis algoritma cenderung menciptakan gelembung informasi (channel bubble) yang memperkuat kecenderungan konfirmasi pengguna media sosial. Fenomena ini berpotensi menghambat terjadinya wacana politik yang konstruktif dan memperparah polarisasi di masyarakat. Selain itu, dinamika terbentuknya opini publik di media sosial juga dipengaruhi oleh peran para influencer politik dan buzzer. (Maualana & Hastuti, 2022) menemukan bahwa opini publik yang terbentuk di media sosial sering kali merupakan hasil kampanye terkoordinasi yang melibatkan jaringan kompleks aktor terkomputerisasi. Temuan ini menggarisbawahi pentingnya literasi politik tingkat lanjut bagi masyarakat dalam menghadapi kompleksitas informasi politik di media sosial.