Langit desa Karangwuni selalu tampak sendu, seolah menyimpan rahasia yang tak pernah terungkap. Di rumah kayu tua milik Pak Sastro, seorang pemuda bernama Dimas tengah sibuk membereskan gudang. Gudang itu lama tak dibuka sejak kakeknya wafat setahun lalu.
"Kenapa sih Kakek suka banget simpan barang-barang aneh?" gumam Dimas sambil menyingkirkan debu dari peti kayu besar.
Peti itu tampak berbeda dari barang-barang lainnya. Ukirannya rumit, dengan simbol-simbol yang tak ia kenali. Dimas mencoba membukanya, dan setelah beberapa usaha, peti itu terbuka dengan suara berderit.
Di dalamnya, ada tumpukan kain lusuh, beberapa benda ritual, dan sebuah buku catatan tua. Buku itu menarik perhatian Dimas. Sampulnya hitam dengan coretan yang terlihat seperti tulisan tangan.
"Catatan Malam Kliwon" tertulis di sampulnya dengan tinta merah yang sudah pudar.
Dimas membuka halaman pertama. Tulisan kakeknya yang rapi memenuhi halaman itu, berisi cerita-cerita menyeramkan tentang desa Karangwuni. Beberapa cerita seperti pernah ia dengar saat kecil, tetapi satu judul terasa asing baginya: "Panggil Aku di Jumat Kliwon."
Perlahan, ia mulai membaca cerita itu. Kisah itu berkisar tentang Waryo, seorang lelaki serakah yang melakukan ritual untuk memanggil arwah penjaga kuburan demi mendapatkan kekayaan. Namun, ritual itu gagal, dan Waryo tak pernah ditemukan lagi. Hanya desas-desus yang tersisa, mengatakan bahwa jiwanya diambil oleh pocong yang ia panggil.
Dimas tertawa kecil. "Masa iya cuma baca mantra terus ada pocong muncul? Ini pasti buat nakut-nakutin anak kecil."
Namun, di akhir cerita, kakeknya menulis sebuah peringatan:
"Jangan pernah mencoba ritual ini, kecuali kau siap menerima konsekuensinya."