Minangkabau memiliki dasar aturan, pedoman atau pegangan yang dimiliki oleh setiap masyarakakat di Minangkabau yaitu falsafah yang telah mendarah daging. Maksud dan tujuan dari falsafah disini adalah untuk menghormati atau menjaga, mengamati dan dapat menjadi pegangan dalam menjalani kehidupan bermasyarakat dan dapat menjadikan contoh. Dalam kehidupan bermayarakat pastinya terdapat beberapa sifat dan perilaku yang berbeda-beda. Untuk mengenali beragam sifat itu perlu pemahaman dan perasaan yang mendalam memahaminya.
Dalam sebuah karya sastra terdapat beragam cerita dan pengalaman yang dialami oleh penulis dalam kehidupan sehari-harinya. Dahulu cerita hanya disampaikan melalui komunikasi secara lisan dan diperluas atau diberitahukan kepada orang lain dengan berkomunikasi serta berinteraksi. Hasil dari komunikasi itu yaitu sebuah kabar berita atau informasi yang terbaru dan dikemas dengan asumsi atau pendapat yang berbeda antara satu orang yang sebelumnya dan yang baru menerima kabar tersebut.
Perkembangan sastra di Minangkabau mulai dari sastra lisan, sastra tertulis berupa naskah (tulisan tangan) sampai sastra berupa buku cetakan. Prosa dalam sastra Minangkabau berupa curito (cerita), kaba (cerita), tambo dan undang-undang. Pada awalnya kaba atau sastra lisan disampaikan dari mulut ke mulut. Cerita dilafalkan oleh tukang kaba (tukang cerita), kemudian dilagukan atau didendangkan oleh tukang kaba.
Sastra tradisional Minangkabau adalah kaba, merupakan cerita prosa liris sejenis pantun dalam sastra sunda. Kaba berbeda dengan hikayat dalam bahasa Melayu dari segi bahasanya. Hikayat ditulis dengan gaya bahasa prosa biasa.
Sedangkan, kaba ditulis dengan gaya bahasa prosa berirama. Dijelaskan oleh Bakar (1979: 8-9), gaya prosa berirama ditandai oleh suatu ciri penanda yang khas. Pola kalimatnya terdiri atas gatra-gatra dengan jumlah suku kata yang relatif tetap.
Biasanya masing-masing gatra terdiri dari atas 8 sampai dengan 10 suku kata. Konsistensi jumlah suku kata itulah yang memungkinkan timbulnya irama pada sebuah lagu.
Minangkabau sangat menjunjung tinggi tentang sebuah kaba (cerita) keberadaan seseorang atau informasi mengenai sesuatu yang dianggap penting dan terbaru. Banyak sekali kaba (cerita) yang disusun menjadi sebuah karya sastra dan menjadi buku yang dapat menjadi pengetahuan baru bagi orang yang belum pernah membacanya.
Selain itu, dalam kaba juga terdapat nilai-nilai yang arif dan bijak untuk dijadikan acuan atau pedoman yang dapat diambil setelah membaca kaba tersebut.
Kaba itu tergolong sebuah cerita rakyat, cerita yang hidup dikalangan masyarakat dan kaba disebut sastra tradisional, pengarang kaba umumnya adalah anonim, hanya ada beberapa nama saja yang disebut penulis yaitu Sultan Pangaduan, Sjamsudin St. Rajo Endah dan Selasih. Kaba berfungsi sebagai hiburan, pelipur lara dan sebagai nasihat, pendidikan moral.
Kaba yang akan dibahas yaitu "Kaba Rancak di Labuah" dan pengarangnya yaitu Dt. Panduko Alam. Kaba ini merupakan cerita yang memiliki pesan yang tersirat.
Di sini penulis menceritakan kisah yang penuh lika-liku dalam kehidupan masyarakat. Seorang tokoh dalam cerita ini yang bernama Rancak di Labuah di gambarkan pada awalnya memiliki sifat yang malas, malas disini memiliki arti ia hanya mementingkan dirinya sendiri tanpa memikirkan sosok yang berada disekelilingnya seperti ayah dan ibunya. Ia lebih mengikuti apa yang ia inginkan dan menghiraukan apa yang dikatakan oleh kedua orang tua nya. Seperti dalam ungkapan pantun berikut: