Lihat ke Halaman Asli

Politik Hukum KUHP Baru

Diperbarui: 26 April 2024   21:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang disahkan pada 6 Desember 2022 merupakan warisan pemerintahan Presiden Joko Widodo yang penting di jagat pembangunan hukum nasional. Secara esensial, KUHP baru yang memikul misi dekolonisasi, demokratisasi, dan konsolidasi hukum pidana menjadi peristiwa penting dalam pengembangan hukum pidana nasional, terlebih-lebih di dalam konstruksi konstitusionalisme.

Akan tetapi, KUHP tersebut masih meninggalkan catatan penting, salah satunya memunculkan potensi penurunan skor indeks negara hukum yang tergolong buruk. Kondisi ini disebabkan adanya sejumlah pasal yang mengancam kebebasan berekspresi warga negara .

Bilamana kita telusuri catatan penting tersebut, timbul beberapa pertanyaan mendasar. Apakah benar KUHP baru lebih demokratis dibandingkan KUHP warisan kolonial? Apa yang menjadi fundamen dari politik hukum KUHP baru? Bagaimana mewujudkan keseimbangan antara kepentingan nasional, masyarakat, dan individu? Ketiga pertanyaan tersebut akan menjadi pokok pembahasan risalah ini agar dapat memecahkan kecemasan masyarakat.

Apabila kita observasi Pasal 218 hingga Pasal 220 yang menjadi kegalauan masyarakat, secara mendasar rumusan menyerang kehormatan atau harkat dan martabat presiden dan/atau wakil presiden telah dilengkapi ketentuan proteksi kebebasan sipil. Ketentuan tersebut telah menunjukkan upaya menjaga kebebasan berpendapat dan berekspresi, dalam hal ini kritik, opini publik, maupun unjuk rasa dapat dilakukan.

Selanjutnya, proteksi terhadap kebebasan sipil tersebut dimanifestasikan ke dalam konstruksi adanya peniadaan tindak pidana, apabila perbuatan menyerang tersebut dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri. Proteksi selanjutnya, penuntutan hanya dapat dilakukan apabila ada pengaduan secara tertulis oleh presiden dan/atau wakil presiden.

Di sisi lain, KUHP tersebut juga tetap menempatkan ketentuan-ketentuan di Pasal 240 hingga Pasal 241 yang mengatur mengenai penghinaan terhadap pemerintah atau lembaga negara. Pasal-pasal tersebut juga merupakan pasal-pasal kontroversial di ruang publik karena penghinaan kerapkali dianggap sama dengan opini yang keras ataupun narasi-narasi yang menghujam di dalam unjuk rasa, karena sifatnya yang subyektif. Meski demikian, pembentuk KUHP pun menerapkan proteksi yang sama dengan ketentuan-ketentuan menyerang kehormatan atau harkat dan martabat presiden dan/atau wakil presiden, yakni dibutuhkan pengaduan dari pihak yang dihina.

Sehingga secara keseluruhan, ketentuan-ketentuan tersebut menunjukkan karakter demokratis yang lebih baik dibandingkan dengan KUHP warisan kolonial Belanda. Namun secara lebih dalam, apabila kita perhatikan Pasal 218 hingga Pasal 220, serta Pasal 240 hingga 241, maka mekanisme proteksi terhadap kebebasan sipil tersebut akan efektif apabila memenuhi prasyarat utama, yaitu dibutuhkan kemahiran yang tinggi bagi penegak hukum dalam menafsir suatu perbedaan secara jitu antara kritikan tajam, komentar bernada satir, dengan perbuatan yang merendahkan martabat atau serangan terhadap kehormatan.

Dalam arti lain, untuk dapat mewujudkan prasyarat utama tersebut dibutuhkan peningkatan kapasitas penegak hukum terkait implementasi ketentuan-ketentuan pidana secara tepat. Kondisi ini menjadi pekerjaan rumah yang berat pasca pemberlakuan KUHP baru.

Hal ini dapat diibaratkan, negeri ini membutuhkan para penegak hukum memainkan sepak bola positif yang atraktif berlandaskan gaya total football Belanda. Untuk mewujudkan permainan yang atraktif tersebut dibutuhkan beberapa komponen fundamental, yakni mentalitas, intelegensi, gairah, apik, kreativitas, dan kepemimpinan (David Winner, 2000). 

Sehingga, pada akhirnya nanti mengkristal ke dalam sistem yang selalu kreatif dan berkembang. Dalam sudut pandang Johan Cruyff, legenda sepak bola Belanda, sistem tersebut wajib ditopang pemain yang berkemampuan tinggi, yang tidak mungkin dimainkan oleh pemain kelas rata-rata saja (Sindhunata, Total Football Bersama Gus Dur, Kompas, 18/12/2000).

Pada akhirnya nanti, prasyarat tersebut akan memunculkan pertanyaan yang aktual, apakah jeda waktu yang tersedia, yakni tiga tahun masa sosialisasi sebagaimana Pasal 624 dalam Ketentuan Penutup, telah akseptabel untuk membimbing atau menuntun penegak hukum selaras dengan KUHP baru?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline