Dari kejauhan, sosok setengah baya terlihat mengayuh pedal sepeda tuanya. Gadis kecil berkerudung yang duduk manis di belakang setengah merengek minta pulang. Sebelum saya kembali ke rumah induk, saya hanya sempat berpapasan dan bersalaman kepada bapak yang kemudian penuh kesabaran menguatkan gadis kecilnya untuk kembali mengaji. Masih terpatri di kepala saya, jadwal masuk mengaji di bulan syawal, anak-anak berlarian dengan gembira tanpa di dampingi orang tua. Mereka seperti busur panah yang berhamburan. Canda tawa menyeruak di panasnya siang. Tapi, tidak untuk si gadis kecil. Ia sangat ketakutan. Untungnya ia memiliki ayah sekuat batu. Mengantarnya dengan wajah sumringah dan mengguyurnya dengan kata-kata sejuk yang menguatkan jiwa.
Siang yang sama, tidak seperti biasanya gadis kecilku sangat manja. Ia berpesan untuk menjenguk meski dari kejauhan. Barangkali dalam pikiran gadis kecilku itu jika ayahnya ada di dekatnya, ia akan merasa diperhatikan. itu saja.
Dari tempat saya duduk, sosok setengah baya itu sendirian tepekur. Badannya yang hitam dan lemah setelah sekian lama dihajar matahari tidak menghalangi mata beliau yang riang berbinar. Beliau selalu mengarahkan pandangan matanya untuk anak kecilnya. Di sudut yang lain, saya melihat si kecil sesekali mencuri pandang keberadaan ayahnya yang sedang menyandarkan pantatnya di jok belakang sepeda tua.
Saya lalu menghampiri beliau dan bercakap-cakap. Dari percakapan itu saya kemudian baru tahu kegundahan hatinya. Si kecil rupanya sudah lama mogok belajar. Setiap diajak mengaji pasti meraung tangisnya. Hari itu adalah hari keempat beliau menunggu si kecil setelah upaya meyakinkan anaknya bahwa beliau akan selalu ada di sampingnya menampakkan hasilnya setelah mengarungi dua bulan perjuangan.
Dari percakapan siang itu, saya baru mengerti betapa keinginan kuat dan harapan kepada si kecil agar cakap mengaji kitab suci mengalahkan semua kesibukannya. Keinginan beliau untuk si kecil sangat sederhana. Beliau berharap si kecil tidak mewarisi kebodohannya.
Rangkaian peristiwa itu tidak akan tersingkap seandainya keping-keping puzzle cerita itu tidak disusun. Rupanya Tuhan telah meciptakan skenario yang mempermudah saya memahami bahwa sesuatu yang besar telah terjadi.
Dari pondok yang dipakai untuk TPQ tempat saya mengobrol siang itu saya bergeser ke rumah tempat tinggal kakak. Rupanya istri saya dan istri kakak sedang bersahut cerita tentang kenakalan keponakan mereka. Sambil tiduran saya hanya sibuk mendengar. Rupanya keponakan kami telah melakukan rentetan kenakalan terhadap teman sepermainan. Mulai dari iseng menggoda, mengejar dan terakhir ada cerita keponakan kami mengguyur temannya air. Teman sepermainan keponakan kami itu akhirnya pulang sebelum sempat sepatahkata pun mengaji. Belakangan- dari kegiatan gossip siang itu, saya baru tahu bahwa yang menjadi korban kenakalan keponakan kami saat itu adalah si gadis kecil.
Cerita pun berkembang.
Di suatu siang beberapa hari yang lalu, ada seorang wali murid yang datang ke pesantren untuk meminta bertemu dengan lurah pondok. Sayangnya tidak bertemu. Kebetulan beliau rehat di teras dan mengobrol dengan salah seorang penjual makanan yang sudah belasan tahun mengais rejeki di sini.
Istri kakak kami menghela nafas melanjutkan ceritanya.
Sang bapak itu kemudian menyampaikan maksudnya kepada ibu penjual makanan tentang sesuatu yang menimpa anaknya. Beliau rupanya ingin mencari bantuan agar anaknya mendapat perlindungan. Sebelum cerita itu panjang lebar, si ibu penjual makanan memotong pembicaraan dan meminta gadis kecil yang turut serta itu menunjukkan siapa pelakunya. Dan si gadis kecil itu menunjukkan laki-laki kecil yang baru datang dan berlarian.