Lihat ke Halaman Asli

Syariah dan Eksklusivitas Fikih

Diperbarui: 10 September 2024   08:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Foto: NOJ/DIC) 

Tulisan ini merefleksikan keresahan mendalam terhadap kecenderungan menyamakan fikih dengan syariah dalam praktik hukum Islam di Indonesia. Sebagai seorang "penikmat" hukum Islam, penulis mengkritisi eksklusivitas pemahaman fikih yang mempersempit cakupan syariah, serta menawarkan pendekatan yang lebih inklusif dan dinamis dalam memahami kedua konsep ini. Keresahan tersebut membawa penulis pada sebuah refleksi kritik, yang menegaskan bahwa syariah dan fikih adalah dua entitas berbeda namun saling terkait, yang harus dipahami dalam konteks yang lebih luas dan kompleks.

Perbedaan Fundamental antara Syariah dan Fikih

Syariah adalah panduan hidup yang bersifat ilahiyah, ditetapkan oleh Allah sebagai kerangka moral dan etika yang komprehensif. Dalam hal ini, syariah meliputi segala aspek kehidupan, mulai dari hubungan manusia dengan Tuhannya (ibadah), dengan sesama manusia (muamalah), hingga kepada etika dan akhlak. Syariah dianggap sebagai pedoman universal yang bersifat abadi dan tidak berubah, yang mengandung prinsip-prinsip dasar yang harus dipegang teguh oleh umat Muslim di berbagai tempat dan zaman.

Namun, ketika kita berbicara tentang fikih, kita merujuk kepada interpretasi manusia terhadap syariah. Fikih adalah hasil ijtihad para ulama yang ditujukan untuk memahami dan menerapkan prinsip-prinsip syariah dalam konteks yang lebih konkret dan spesifik. Fikih adalah ilmu yang dinamis, yang terus berkembang sesuai dengan kondisi sosial, budaya, dan politik di mana ia diterapkan. Oleh karena itu, fikih bersifat kontekstual dan relatif, dan karenanya dapat berbeda dari satu tempat ke tempat lain atau dari satu periode waktu ke periode lainnya.

Sebagai hasil dari interpretasi manusia, fikih tentunya tidak bersifat mutlak. Berbagai mazhab dalam fikih Islam—seperti Syafi’i, Hanafi, Maliki, dan Hanbali—muncul sebagai bukti dari keragaman dalam menafsirkan syariah. Perbedaan-perbedaan ini bukanlah suatu kelemahan, melainkan kekayaan intelektual yang menandai kedinamisan tradisi hukum Islam. Namun, masalah muncul ketika ada kecenderungan untuk menyamakan fikih dengan syariah secara mutlak, di mana satu sudut pandang fikih dianggap sebagai satu-satunya representasi kebenaran syariah. Sikap semacam ini sering kali menghasilkan pandangan yang eksklusif dan intoleran terhadap perbedaan pandangan.

Mengkritik Pandangan Formalistik dan Tekstualis

Kritik terhadap eksklusivitas dalam pemahaman fikih sebagai syariah bukan hanya persoalan akademis atau doktrinal, tetapi juga menyentuh dimensi sosial dan politik dalam kehidupan umat Muslim. Michael B. Hooker dalam kajiannya tentang hukum Islam di Indonesia menyebut fenomena semacam ini sebagai pendekatan "tekstualis" atau "formal-legalistik", di mana hukum dipahami semata-mata berdasarkan teks-teks formal tanpa mempertimbangkan konteks sosial dan historis. Pandangan tekstualis ini sering kali mengabaikan fakta bahwa fikih merupakan hasil ijtihad yang sangat dipengaruhi oleh kondisi zaman dan tempat, sehingga tidak bisa diterapkan secara kaku di semua konteks.

Pendekatan tekstualis ini juga sering kali menghasilkan pemahaman yang rigid dan terbatas terhadap syariah, yang kemudian memengaruhi cara umat Muslim berinteraksi dengan hukum Islam. Misalnya, di beberapa daerah di Indonesia, dominasi mazhab fikih tertentu sering kali digunakan sebagai dasar untuk menetapkan hukum-hukum yang bersifat lokal, tanpa mempertimbangkan adanya perbedaan pandangan di kalangan ulama. Di Aceh, misalnya, penerapan syariah sering kali diidentikkan dengan interpretasi dari mazhab Syafi'i, sementara di daerah lain seperti Sumatera Barat atau Jawa, interpretasi dari mazhab yang berbeda bisa jadi lebih dominan.

Ketika fikih dipahami secara eksklusif dan dianggap sebagai syariah yang harus diikuti secara mutlak, ada risiko terjadinya pengabaian terhadap realitas sosial yang lebih luas dan kompleks. Sikap ini dapat menyebabkan munculnya perpecahan dan konflik dalam masyarakat, terutama ketika ada kelompok-kelompok yang menolak atau tidak setuju dengan interpretasi fikih yang diterapkan secara dominan.

Teori Konstruksi Sosial dari Alfred Schütz

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline