Lihat ke Halaman Asli

Surat Terbuka untuk Presiden Jokowi: Pindah Ibu Kota Vs Konsep Megapolitan

Diperbarui: 28 Januari 2022   14:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bahwa pemerintah di Jakarta sejak dulu siapa pun pemimpinnya gencar membangun jalan bersusun2 di udara, darat bahkan kini di bawah tanah, tujuan mengatasi macet. Tapi Ibarat menggantang asap hanya usaha sia2. Uang yang banyak  cuma berubah jadi beton yang gersang dan angker, tidak mengatasi masalah.  Kota2 di Indonesia umumnya tidak membangun kehidupan.

Kebutuhan tempat tinggal juga hanya berdasarkan hitungan angka, maka bermunculanlah hutan2 apartemen dengan nama2 dan istilah bahasa asing untuk memenuhi permintaan pasar. Pengembangan Jakarta selama ini nyaris tanpa kendali dan dilakukan oleh para pedagang. Seperti diketahui otak pedagang hanya profit oriented.

Para pemangku jabatan selama lebih 75 tahun Indonesia merdeka belum menujukkan visi yang jelas tentang penataan dan pengelolan ibukota negara.  Muncul rencana pemindahan ibukota agar sejak perencanaan dapat diatur dan dikendalikan. Sebuah gagasan yang smart, besar dan visioner, walau pun tentu tidak mudah.

Di Jakarta, beton2 bersileweran. Ribuan liter BBM terbuang mengotori udara, bersama waktu pekerja menguap di jalan. Tingkat stres dan emosi tinggi. Berlaku "hukum rimba", siapa yang paling kuat ngotot bahkan berkelahi fisik.

Penguasaan tanah Jakarta dan sekitarnya mencengangkan. Ada pengambang yang menguasai 14.000 hektar. Ada yang 6000 hektar dan perlu waktu lebih 30 tahun hanya untuk mengembangkan separuhnya. Sisanya lahan "nganggur",  berupa ilalang dan tanah kosong,  tetapi setiap hari harganya naik sejalan dengan tingginya kebutuhan lahan di sekitar Jabodetabek.

Tuan tanah berupa korporasi2 besar menikmati capital gain dari kenaikan harga. Dulu dibeli murah, dijadikan asset untuk menaikkan posisi tawar di pasar modal. Lahan telah dijadikan alat spekulasi, dan menaikkan bargaining guna mendapatkan kredit pembiayaan.

Konsep kota Metropolitan di Jakarta sudah seharusnya dirubah sejak 35 tahun lalu, menjadi MEGAPOLITAN meliputi  wilayah tingkat satu (Banten) dan dua di sekitarnya  Bogor, Tangerang Bekasi, Depok hingga Bopunjur (Bogor, Puncak dan Cianjur). Boleh jadi saat ini sudah terlambat karena bebannya terlampau berat. Di samping macet, banjir dan amblasnya tanah terjadi setiap tahun.  

Beban dan disparitas pembangunan Jawa dengan wilayah lain telah membuat pulau-pulau lain kosong dan hanya jadi penguasaan para cukong yang haus lahan. Jawa dan khususnya Jakarta, menjadi magnit yang terus mempesona kaum urban yang mengadu keberuntungan.

Membangun dan memindahkan ibukota memang tidak mudah, tetapi sesulit apa pun kehidupan akan bergerak membangun dirinya sendiri. Menjadi magnit bagi tumbuh kembangnya kehidupan dan ekonomi bergerak secara simultan.

Pembangunan dan pemindahan ibukota akan dicatat dalam sejarah sebagai langkah besar, cerdas dan visioner. Persoalan paling krusial adalah pada pelaksanaannya. Para pihak yang tidak setuju perlu membaca kembali referensi bagaimana pemindahan pusat pemerintahan di sejumlah negara. Ini bukanlah barang baru.

M. Mada Gandhi




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline