Lihat ke Halaman Asli

Buzzer dan Pemilu

Diperbarui: 15 Desember 2023   08:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Istilah "buzzer" telah menjadi topik hangat dalam ranah politik dan menjadi bagian penting dari percakapan di media sosial, khususnya dalam konteks demokrasi yang tengah berlangsung. Pemilihan umum, yang melibatkan calon legislatif dan eksekutif seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Presiden, Wakil Presiden, dan Kepala Daerah, menjadi ajang di mana peran buzzer semakin mencuat.

Sebenarnya buzzer ini mulai dikenal di negara Indonesia, sejak adanya Pemilu 2019 lalu. Buzzer dijadikan sebagai suatu jasa yang selalu dikaitkan dengan menyuarakan isu-isu politik, yang mengkampanyekan di media sisal oleh tokoh atau kelompok politik, untuk memenangkan kompetisi politik. Bahkan buzzer bisa dijadikan sebagai jasa untuk menjatuhkan kredibilitas lawan dari partai politik lainnya.

Buzzer, sebagai elemen yang seringkali dikerahkan oleh pihak-pihak dengan kepentingan politik tertentu, memiliki peran sentral dalam menyebarkan pesan atau informasi yang mendukung atau bahkan menjatuhkan kandidat atau partai politik tertentu. Mereka memanfaatkan berbagai platform media sosial, seperti Twitter, Facebook, Instagram, dan YouTube, untuk mencapai khalayak yang lebih luas.

Penting untuk dicatat bahwa peran buzzer juga membutuhkan biaya yang tidak dapat dianggap enteng, bahkan bisa mencapai ratusan juta rupiah. Sebagai contoh, seorang buzzer berinisial NF mengungkapkan bahwa ia pernah dibayar sejumlah besar uang, Rp 285 juta, untuk mengelola opini publik selama tiga bulan dalam konteks Pemilihan Presiden 2019. Pernyataan NF menyoroti besarnya investasi finansial yang dilakukan oleh pihak-pihak yang memanfaatkan jasa buzzer.

Ia mengungkapkan bahwa Dana sebesar Rp 285 juta itu dialokasikan untuk tim dan digunakan untuk membuat iklan di berbagai platform media sosial. Tujuannya adalah agar masyarakat percaya dengan narasi atau video yang disebarkan. Pernyataan dari NF ini menggambarkan bagaimana buzzer memiliki peran strategis dalam membentuk persepsi publik melalui kampanye di media sosial.

Namun, menjadi seorang buzzer juga membawa risiko besar, sebagaimana diakui oleh NF. Kesalahan langkah dapat berujung pada konsekuensi hukum, termasuk kemungkinan dipidanakan dan masuk penjara. Oleh karena itu, buzzer yang sudah ahli biasanya memiliki perhitungan yang matang dalam setiap langkahnya untuk memanipulasi opini publik.

Salah satu alat yang sering digunakan oleh buzzer adalah penyebaran berita palsu atau hoaks. Mereka menciptakan narasi yang mendukung kandidat yang mereka dukung atau mencoba mencemarkan reputasi lawan politik. Selain itu, buzzer juga dapat digunakan untuk menghidupkan isu-isu sensitif yang dapat memecah belah masyarakat dan memengaruhi pemilih. Strategi ini tidak hanya melibatkan upaya positif untuk mendukung kandidat tertentu, tetapi juga mencakup serangan terhadap lawan politik.

Selama masa kampanye pemilu, masing-masing pendukung calon seringkali melontarkan isu dan fitnah terkait keberadaan buzzer, yang kemudian menjadi sorotan utama dan memiliki peran penting dalam dinamika pemilu. Sebagai contoh, kubu pasangan capres-cawapres Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka mengalami serangan buzzer terkait keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang kontroversial mengenai batasan umur pencalonan. Menyikapi hal ini, Partai Golkar bersiap membentuk tim buzzer organik untuk melawan serangan yang dilancarkan oleh akun anonim.

Menurut Maman abdurahman selaku Ketua Bapilu Partai Golkar, Banyak buzzer non-organik yang melakukan pendegradasian nama baik dari capres yang telah mereka usung. Maka dari itu, salah satu yang bisa dilakukan adalah membentuk buzzer organik. Pernyataan ini mencerminkan respons dari pihak politik terhadap serangan buzzer dan strategi mereka untuk melawan dampak negatifnya. Beliau juga mengungkapkan bahwa buzzer organik akan difokuskan pada tujuan menyampaikan kepada masyarakat bahwa Pemilu 2024 memerlukan kampanye yang tidak bersifat negatif. Dia berpendapat bahwa ke depannya, Indonesia membutuhkan kampanye yang mengandung perdebatan konseptual, gagasan, dan ide terbaik untuk kemajuan negara.

Maman juga menyoroti pentingnya menyajikan konten yang lebih konstruktif kepada rakyat Indonesia, mencakup program, konsep, ide, dan gagasan. Menurutnya, saatnya rakyat diperkenalkan pada konten yang lebih informatif dan konstruktif, sehingga mereka dapat mengetahui rencana dan tujuan para calon presiden dan wakil presiden untuk lima tahun mendatang.

Selain respon dari tim calon pasangan pemilu, Maraknya penyebaran konten hoax dan dampak merugikan dari buzzer telah menarik perhatian serius dari Menteri Komunikasi dan Informatika, Budi Arie Setiadi. Menteri tersebut sampai membentuk Satgas Anti Hoax untuk menghadapi Pemilu 2024. Tim ini bertugas untuk melabeli informasi hoax yang beredar di media sosial. Beliau menyatakan bahwa Kementerian Kominfo sudah membentuk satgas anti-hoax, yang bertugas untuk menandai semua berita palsu dan bohong, menunjukkan tekad serius pemerintah dalam mengatasi tantangan informasi palsu yang dapat mempengaruhi integritas pemilihan umum 2024.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline