Konawe Selatan - Kasus dugaan kekerasan yang melibatkan Supriyani, seorang guru di SDN 4 Baito, dan salah satu siswa, semakin memanas setelah Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kecamatan Baito mengeluarkan selebaran yang menuai polemik. Selebaran ini, yang ditandatangani Ketua PGRI Baito, Hasna, pada Sabtu (19/10/2024), berisi tiga tuntutan terkait kasus tersebut.
Dalam selebaran tersebut, PGRI Baito menyatakan akan melakukan aksi mogok kerja sejak 21 Oktober 2024 hingga adanya keputusan terkait penangguhan penahanan Supriyani. Selain itu, PGRI Baito menuntut agar siswa yang menjadi saksi dan dianggap bermasalah dikembalikan ke orang tua masing-masing atau dikeluarkan dari sekolah, serta tidak diterima di sekolah lain di Kecamatan Baito. Tuntutan terakhir adalah agar Supriyani dapat kembali mengajar di sekolah tersebut.
Tindakan PGRI Baito ini mendapatkan reaksi keras dari Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) Konawe Selatan (Konsel). Ketua KPAD Konsel, Asriani, menyatakan ketidaksetujuannya atas sikap diskriminatif yang ditunjukkan oleh PGRI Baito terhadap siswa yang terlibat, baik sebagai korban maupun saksi dalam kasus ini.
"Kami sangat menyesalkan pernyataan itu. Proses hukum harus tetap memperhatikan hak-hak anak untuk memperoleh pendidikan," ujar Asriani pada Jumat (25/10/2024). Menurutnya, tindakan PGRI Baito justru dapat memperburuk kondisi psikologis anak-anak yang terlibat, terutama mereka yang menjadi saksi atau korban dalam kasus tersebut.
KPAD Konsel berkomitmen untuk memberikan pendampingan psikologis bagi anak-anak di SDN 4 Baito, terutama yang terkait langsung dengan kasus Supriyani. Asriani menegaskan bahwa hak anak untuk belajar tidak boleh terabaikan dalam proses hukum ini.
"Anak-anak adalah korban yang memiliki hak untuk tetap belajar. Kita tidak boleh mengabaikan itu hanya demi mendukung satu pihak dalam kasus ini," tambah Asriani.
Di sisi lain, Hasna, Ketua PGRI Baito, menjelaskan bahwa tuntutan dalam selebaran tersebut diambil berdasarkan hasil rapat bersama, namun tidak terlaksana karena adanya koordinasi dengan PGRI Sulawesi Tenggara dan Dinas Pendidikan yang tidak mengizinkan aksi mogok tersebut.
"Awalnya memang rencana mogok itu ada, tetapi setelah berkoordinasi dengan PGRI Sultra dan dinas pendidikan, akhirnya tidak jadi dilaksanakan," kata Hasna saat dihubungi, Jumat (25/10/2024).
Kasus ini menunjukkan pentingnya peran lembaga pendidikan dan lembaga perlindungan anak dalam menjaga kesejahteraan siswa, terutama dalam situasi yang melibatkan konflik atau dugaan kekerasan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H