Reforma agraria menjadi salah satu agenda penting dalam upaya menciptakan keadilan sosial dan ekonomi di Indonesia. Ketimpangan penguasaan tanah yang berlangsung selama bertahun-tahun telah menjadi akar ketidakadilan ekonomi di kalangan masyarakat kecil. Badan Bank Tanah, sebagai lembaga yang bertugas mengelola tanah untuk kepentingan masyarakat, hadir sebagai solusi strategis untuk mengatasi permasalahan ini.
Sebagai institusi yang diberi mandat untuk mengelola tanah negara sebagaimana diatur pada pasal 3 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 64 tahun 2021 tentang Badan Bank Tanah, terdapat peran strategis dalam redistribusi tanah kepada masyarakat. Amanat redistribusi tanah negara terutama ditujukan terhadap petani, nelayan, maupun komunitas adat. Menghidupkan sekaligus melaksanakan reforma agraria sesungguhnya adalah mengembalikan cita-cita nasional untuk melindungi dan mensejahterakan bangsa.
Reforma agraria sendiri merupakan konsep kebijakan yang sudah sangat lama berkembang di Indonesia. Akan tetapi, praktik bagi-bagi penguasaan lahan sebagamana berjalan terhadap hutan di Pulau Sumatera dan Kalimantan seolah menampilkan kesenjangan sosial yang sangat jauh. Realitas demikian menjadikan eksistensi Badan Bank Tanah menjadi sangat penting. Peran itu adalah memastikan tanah yang dikuasai atasnama negara bukan untuk pengumpulan pundi-pundi kekayaan kelompok tertentu, meski berdalih sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN).
Dalam beberapa tahun terakhir, PSN telah menjadi prioritas utama pemerintah untuk mendorong pembangunan infrastruktur yang dianggap vital bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Jalan tol, bendungan, kawasan industri, dan proyek lainnya seringkali dipromosikan sebagai solusi bagi masalah ekonomi dan kemiskinan. Ironisnya, di balik narasi pembangunan ini, terdapat cerita lain yang jarang terdengar sebagaimana perjuangan masyarakat adat dan masyarakat lokal yang hak-haknya atas lingkungan sehat terancam atau bahkan dilanggar.
Masyarakat adat setidaknya menjadi kelompok yang paling rentan mendapatkan dampak negatif pembangunan. Hutan yang menjadi tempat tinggal, dihancurkan untuk membuka jalan bagi proyek infrastruktur. Tanah leluhur yang sudah dikelola secara turun-temurun, diambil alih tanpa konsultasi yang memadai atau kompensasi yang adil. Lebih buruk lagi, ketika masyarakat adat bersuara, maka justru kerap mengalami intimidasi, kriminalisasi, bahkan kekerasan. Realitas ini sebagaimana terjadi dalam pembangunan kawasan industri Pulau Rempang, Kota Batam, Kepulauan Riau.
Salah satu prinsip utama HAM adalah hak atas tanah dan sumber daya alam yang menjadi penopang kehidupan. Bagi masyarakat adat, tanah tidak hanya sekadar aset ekonomi, melainkan juga inti dari identitas budaya dan spiritual. Akan tetapi, hak ini sering kali dikesampingkan demi kepentingan "kemajuan" pembangunan atas nama PSN. Mereformasi kebijakan di bidang keagrariaan tiada lain dengan cara mendasarkan diri pada upaya pembaharuan agraria sebagai konsep dasar pembangunan untuk semua rakyat.
Hal ini bukan hanya untuk memperbaiki akses mereka terhadap sumber daya produktif, tetapi juga sebagai langkah nyata menuju keadilan ekonomi yang berbasis kerakyatan. Peran lainnya adalah mendukung pembangunan infrastruktur publik yang inklusif, seperti fasilitas pendidikan, kesehatan, dan pasar tradisional. Dengan demikian, Bank Tanah harus berfungsi sebagai pengelola tanah yang menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi kerakyatan, bukan lembaga penjamin ketersediaan tanah bagi perusahaan dan pemilik modal tertentu.
Tantangan di Lapangan
Konflik agraria yang melibatkan berbagai pihak seringkali menjadi hambatan besar. Dualisme regulasi, keterbatasan data yang akurat, serta potensi penyalahgunaan kewenangan adalah beberapa isu yang perlu segera diatasi. Selain itu, kurangnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan sering kali memicu ketidakpercayaan terhadap program ini. Agar Badan Bank Tanah dapat berfungsi optimal, diperlukan langkah-langkah strategis yang komprehensif. Salah satu langkah transparansi dan akurasi adalah penguatan sistem informasi pertanahan. Penggunaan teknologi digital seperti Sistem Informasi Geografis (GIS) dan blockchain tentu dapat meningkatkan akurasi dan transparansi data pengelolaan tanah.
Pemberdayaan masyarakat penerima redistribusi tanah harus dibekali dengan oleh pelatihan dan dukungan modal. Dukungan keterampilan dan modal pada dasarnya untuk memastikan bahwa tanah akan menjadi produktif dan dapat meningkatkan kesejahteraan penerimanya. Pada posisi ini dibutuhkan adanya kolaborasi multipihak. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah, lembaga swadaya masyarakat, serta komunitas lokal perlu dilibatkan dalam proses perencanaan hingga implementasi reforma agraria. Hal yang cukup signifikan adalah adanya mekanisme pengawasan independen. Dibutuhkan sebuah lembaga pengawas yang independen untuk memastikan pelaksanaan program berjalan sesuai prinsip keadilan dan keberlanjutan.
Reforma agraria yang sukses tidak hanya berdampak pada pemerataan ekonomi, tetapi juga mendukung pembangunan berkelanjutan. Pengelolaan tanah yang bijak dapat mengurangi tekanan terhadap lingkungan, meningkatkan ketahanan pangan, dan mengurangi urbanisasi yang tidak terkendali. Sebagai bangsa agraris, Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadikan reforma agraria sebagai pijakan utama pembangunan.