Perkembangan teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) semakin merambah ke berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk interaksi sosial. Salah satu tren yang tengah berkembang adalah pemanfaatan AI sebagai teman chatting. Dalam konteks ini, AI menjadi medium komunikasi yang mampu merespons pesan pengguna secara real-time, dengan gaya bahasa yang personal dan akurat. Namun, meskipun tren ini menawarkan berbagai kemudahan, dampak psikologis dan sosial yang ditimbulkannya perlu diperhatikan secara serius, khususnya di Indonesia.
Ada lima aplikasi yang kini telah menjadi trend sebagai teman chattingan. Pertama, ChatGPT yang diluncurkan oleh OpenAI untuk menulis cerita, menulis surat, merangkum buku, bahkan menyelesaikan soal-soal matematika. Kedua, Wombo Dream, yang berfungsi untuk menerjemahkan teks menjadi berbagai gambar realis maupun fantasi dan anime. Ketiga, Youper yang berfungsi sebagai chatbot kesehatan mental dengan teknik Cognitive Behavioural Theraphy (CBT), sehingga dianggap membantu mengatasi kecemasan maupun merubah suasana hati. Keempat, replika sebagai aplikasi chatbot berfungsi untuk menemani bertukar pesan dengan peran yang dipilih. Kelima, ELSA yang didesain sebagai sahabat dalam pengucapan bahasa Inggris atau pronunciation.
Potensi Gangguan Psikologis
Interaksi dengan AI yang bersifat asinkron, konsisten, dan tanpa penilaian seringkali menjadi daya tarik utama. AI mampu memberikan validasi emosional tanpa batasan waktu dan kondisi, sesuatu yang mungkin sulit didapatkan dari interaksi manusia. Namun, hal ini dapat berpotensi menimbulkan beberapa gangguan psikologis, seperti ketergantungan emosional, isolasi sosial, dan distorsi realitas.
Ketergantungan pada AI sebagai tempat mencurahkan perasaan dapat menghambat perkembangan keterampilan sosial dan emosional seseorang. Individu mungkin merasa lebih nyaman berbicara dengan AI daripada dengan manusia, sehingga mengurangi kemampuan mereka untuk membangun hubungan yang autentik. Akibatnya, seseorang cenderung melakukan isolasi sosial. Penggunaan AI yang berlebihan sebagai teman chatting dapat membuat seseorang terisolasi dari lingkungan sosialnya. Ketika interaksi dengan AI menjadi prioritas, hubungan dengan keluarga, teman, dan komunitas bisa terabaikan.
AI memang dirancang untuk merespons sesuai dengan kebutuhan emosional pengguna, tetapi ini bukanlah interaksi yang berbasis realitas. Ketika pengguna terlalu terikat pada kenyamanan artifisial ini, mereka berisiko kehilangan kemampuan untuk menghadapi tantangan nyata dalam hubungan interpersonal.
AI, meskipun canggih, tetap beroperasi berdasarkan algoritma yang diatur. Dalam jangka panjang, ketergantungan pada AI dapat menumpulkan kemampuan individu untuk berpikir kritis, berekspresi kreatif, dan menghadapi situasi kompleks secara mandiri. Generasi muda khususnya, berisiko kehilangan kesempatan untuk mengembangkan keunikan mereka dalam menghadapi realitas sosial yang beragam.
AI juga tidak memiliki empati atau pemahaman konteks budaya yang mendalam. Interaksi yang terlalu sering dengan AI dapat mengurangi kemampuan seseorang untuk memahami dan merespons kebutuhan emosional orang lain secara nyata. Kepekaan sosial yang menurun ini dapat berdampak buruk pada harmoni kehidupan bermasyarakat di Indonesia yang kaya akan nilai-nilai gotong royong dan solidaritas.
Mengurangi Dampak Negatif
Penting untuk memberikan edukasi mengenai manfaat dan batasan AI. Literasi digital dapat membantu masyarakat memahami bahwa AI adalah alat pendukung, bukan pengganti interaksi manusia. Perlu penguatan keterampilan sosial yang didesain dari ekosistem sekolah, keluarga, dan komunitas. Kesemua ekosistem sosial tersebut perlu berperan aktif dalam membangun keterampilan sosial dan emosional, seperti empati, komunikasi asertif, dan kerja sama.
Pemerintah dan pengembang teknologi perlu bekerja sama untuk memastikan bahwa penggunaan AI diatur secara etis, dengan memperhatikan dampak psikologis dan sosial bagi penggunanya. Masyarakat juga perlu didorong untuk lebih banyak melakukan aktivitas sosial yang melibatkan interaksi langsung, seperti kegiatan komunitas, olahraga, dan seni budaya.