Lihat ke Halaman Asli

Gerakan Aceh Merdeka

Diperbarui: 6 Juli 2024   21:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

            Gerakan Aceh Merdeka (GAM) merupakan gerakan separatisme bersenjata di Aceh yang lahir dari kekecewaan kepada pemerintah. Menurut catatan sejarah, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada masa pemerintahan Presiden Soeharto pada tanggal 4 Desember 1976 dengan menyerukan perlawanan kepada pemerintah Republik Indonesia untuk memisahkan diri dari NKRI. Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dipimpin oleh Tengku Hasan Di Tiro atau dikenal dengan Hasan Tiro melalui pernyataan yang dilakukan di perbukitan Halimon, Kabupaten Pidie. 

Sebelum mengambil alih nama Gerakan Aceh Merdeka, mereka disebut sendiri Aceh Merdeka (AM) oleh sekelompok orang. Gerakan ini kemudian juga dikenal dengan sebutan Aceh Sumatra National Liberation Front (ASNLF). GAM mempromosikan identitas Aceh yang berbeda dari identitaas nasional Indonesia, hal ini menimbulkan rasa tidak dihargai dikalangan masyarakat Aceh yang menghambat integrasi nasional. Dengan  mempelajari teori kewarganegaraan kita dapat memahami hak dan kewajiban warga negara dalam menjaga integritas nasional. Konflik GAM menunjukkan bahwa rasa kewarganegaraan di kalangan masyarakat Aceh masih perlu diperkuat agar mereka dapat merasa terikat dan memiliki tanggung jawab terhadap bangsa dan negara Indonesia.

            Munculnya Gerakan Aceh Merdeka berlatar belakang kemunculan konflik yang bersumber dari perbedaan tentang hukum Islam, masyarakat Aceh menginginkan penerapan hukum Islam yang lebih komprehensif di wilayahnya, sedangkan pemerintah pusat belum menunjukkan komitmen yang kuat untuk mewujudkannya. Kekecewaan tentang distribusi sumber daya alam di Aceh, masyarakat Aceh merassa bahwa kekayaan alam di wilayahnya tidak dikelola secara adil dan merata, dengan keuntungan yang lebih banyak dinikmati oleh pemerintah pusat dan pihak-pihak tertentu dan peningkatan jumlah pendatang dari Jawa. 

Sentralitas yang berlebihan di pemerintahan pusat, sehingga membuat masyarakat Aceh merasa bahwa pemerintah pusat terlalu sentralistik dan tidak memberikan ruang yang cukup bagi otonomi daerah. Sayangnya, cara mengatasi Gerakan Aceh Merdeka yang diambil pemerintah pusat pada masa itu kurang efektif sampai kita malah punya lawan yang kelak dijadikan kelompok itu untuk memperoleh simpati dari masyarakat. Akhirnnya konflik ini yang terjadi sejak tahun 1976 hingga 2005 merugikan kedua pihak dan telah menelan nyawa sebanyak hampir 15.000 jiwa.

Kronologi Konflik Gerakan Aceh Merdeka (GAM)

            1976-1977 menjadi titik awal dimulainya perlawanan bersenjata oleh Gerakan Aceh Merdeka setelah deklarasi kemerdekaan yang dipimpin oleh Hasan Tiro. Milisi GAM melancarkan aksi-aksi reprensif dengan menggunakan strategi gerilya, yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dari pihak misili GAM maupun masyarakat sipil. Namun, perlawanan GAM ini berhasil diredam oleh pemerintah pusat melalui operasi militer yang masif. Pada akhirnya, situasi di Aceh kembali stabil dan gerakan milisi GAM dapat dinetralisir.

            1989-1998, Gerakan Aceh Merdeka bangkit kembali dengan kekuatan baru setelah mendapatkan dukungan militer dari Libya dan Iran. Pelatihan perang yang mereka peroleh di luar negeri membuat perlawanan GAM menjadi lebih terorganisir, sehingga sulit bagi pemerintahan Indonesia untuk mengendalikannya. Hal ini memicu kekhawatiran pemerintah dan memicu penetapan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM). Di bawah DOM, terjadi pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang meluas, desa-desa yang disinyalir sebagai tempat persembunyian anggota GAM dibakar, dan militer Indonesia melakukan penculikan dan penyiksaan terhadap anggota GAM yang dicurigai tanpa melalui proses hukum yang jelas. Diperkirakan, terdapat lebih dari 7000 pelanggaran HAM yang terjadi selama masa DOM di Aceh.

            Jatuhnya Orde Baru Soeharto pada tahun 1998 membuka peluang bagi Gerakan Aceh Merdeka untuk bangkit kembali dan memperkuat organisasinya. Pengunduran pasukan TNI dari Aceh pada tanggal 7 Agustus 1998 oleh Presiden BJ Habibie, walaupun dimaksudkan untuk meredakan ketegangan, justru memberikan ruang bagi GAM untuk mempersiapkan serangan balasan dan memperkuat posisinya.

            Peningkatan kekuatan militer di Aceh pada tahun 2002, kekuatan militer dan polisi di Aceh mengalami peningkatan signifikan, dengan jumlah personel mencapai 30.000 orang, sebagai upaya untuk memperkuat posisi militer dalam menghadapi Gerakan Aceh Merdeka dan meningkatkan kemampuan dalam menghadapi konflik.

            Peningkatan Pasukan di Aceh setahun setelah penetapan darurat militer, jumlah pasukan di Aceh kembali meningkat pesat, mencapai 50.000 personel, sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan dalam menghadapi konflik dengan Gerakan Aceh Merdeka.

Kekerasan GAM di tengah situasi ini, misili GAM melancarkan berbagai aksi kekerasan yang brutal, menelan korban jiwa dari pihak sipil yang mencapai ribuan orang, memburukkan situasi keamanan di Aceh.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline