[caption id="attachment_73719" align="alignleft" width="300" caption="gambar dari :swaramuslim.com"][/caption] "Kamu harus jadi tentara,Nak" Ayahku berucap padaku sambil mengelus lembut kepalaku. "Bila kau jadi tentara nanti, mungkin ayah tidak akan diperlakukan lagi seperti ini. Kita akan dihormati dan disegani" "Iya, Ayah. Saya berjanji." "Setelah tamat SMP nanti, kamu masuk SMA Taruna ya.." "Saya akan berusaha, Ayah" Aku geram, bila melihat orang-orang yang berbuat semena-mena pada beliau. Untuk kesekian kalinya ayahku diperas oleh petugas dan preman pelabuhan. Sedih dan tak berdaya. Itu yang aku rasakan dan mungkin juga dirasakan oleh ayahku. Aku sering ikut ayahku berlayar dari desaku ke kota dengan melintasi Laut Banda yang ganas. Kami membawa hasil bumi penduduk setempat untuk ditukar dengan rupiah. Ayahku mendapatkan uang dari sewa kapalnya. Beliau membawa kapal kayu kecil. Kapal kayu itu mesti terlunta-lunta 12 jam di lautan untuk bisa sampai di tujuan. Kadang ombak lebih besar dari kapal yang kami bawa. Untung ayahku sejak kecil sudah jadi pelayar. Bahkan sebagian besar lautan nusantara ini sudah pernah beliau layari bersama kakekku. Beliau sering bercerita tentang tempat yang pernah ia kunjungi. Semua itu menumbuhkan benih keinginan saya untuk menjadi perantau juga. Juragan kampung yang berwujud kepala desa juga menarik retribusi yang tidak wajar. Namun ayahku tidak bisa berbuat apa-apa. Mungkin karena kesewang-wenangan yang selalu kami terima dan ketidakberdayaan itu, beliau sangat menginginkan saya untuk menjadi seorang tentara. Tentara di kampung saya masih sangat ditakuti dan disegani. Saya berharap, setelah menjadi tentara nanti, kesewenang-wenangan dan ketidakadilan itu akan bisa sirna dan aku bisa melihat ayahku tersenyum di pelabuhan karena aku mendampinginya sehingga para preman dan petugas itu tidak berani lagi memeras ayahku. Juragan kampung juga tidak semena-mena lagi kalau dia tahu, ayahku punya putra yang menjadi seorang tentara. Semangatku makin membaja untuk menjadi tentara melihat kenyataan itu semua. Harapan saya saat itu, jikalau kelak aku sudah berpakaian loreng, aku bisa menindak mereka yang berbuat 'macam-macam pada ayahku. Setelah Tamat SMP, aku langsung ikut seleksi SMU Taruna Nusantara. Namun gagal pada seleksi terakhir di tingkat propinsi. Biasanya sekitar 5 orang tiap tahun yang lulus dari propinsi saya, tapi saat itu tidak ada seorangpun yang lulus. Tamat SMA saya kembali ikut seleksi masuk AKABRI. Namun gagal lagi. Kemudian setelah lulus di fakultas kedokteran, ayah saya sangat mengharapkan untuk masuk tentara lagi. Harapan itu sudah tidak bisa saya sanggupi. Cita-cita saya untuk menjadi tentara sudah memudar. Saya tahu, ayah saya mungkin kecewa. Setelah bertugas di Aceh saya ditawari untuk menjadi dokter mitra kepolisian tingkat kabupaten. Saya pikir ini harapan terakhir saya mewujudkan mimpi beliau yang menginginkan putra satu-satunya ini masuk dalam dunia militer, walau hanya sebagai angggota kehormatan. Namun kartu anggota kehormatan sebagai dokter mitra polisi belum sempat saya peroleh karena saya mesti memutuskan kontrak karena saat itu orientasiku sudah berubah. Padahal saya berencana mengirimkan fotokopian kartu itu pada beliau. Siapa tahu bisa sedikit mengurangi kekecewaan beliau :-). Saat ini aku ingin membuat beliau bangga dengan cara lain, walau pada awalnya beliau kurang setuju. Maafkan aku Ayah. Aku telah gagal menjadi tentara. Semoga engkau bisa juga bangga dengan apa yang aku jalani selama ini. Jikalau Allah menghendaki dan kita panjang umur serta tidak ada aral melintang, Ayah akan mendampingiku saat wisuda dokter spesialis 6 tahun yang akan datang. Doakan aku. Ayah, aku rindu padamu..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H