Lihat ke Halaman Asli

Balada Jamkesmas

Diperbarui: 26 Juni 2015   18:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

[caption id="attachment_69955" align="alignleft" width="300" caption="Ilustrasi"][/caption] "Dok, bagaimana ya.. Saya terus terang tidak punya uang untuk membiayai pengobatan suami saya." Seorang ibu-ibu separuh baya itu berbicara padaku. Ada raut sedih dan khawatir yang terukir di wajahnya. "Bu, usahakan  ada yang mengurus Jamkesmasnya besok ya.. Kalau tidak Bapak akan dikenakan bayaran sebagai pasien umum. Kondisi Bapak gawat darurat, harus ditangani secepatnya" Saya mencoba menjelaskan pada istri pasien  yang sakit perut dan  tidak bisa kencing beberapa hari di ruang gawat darurat. "Iya, Dok. Kemarin saya sudah ke lurah, tapi urusanya belum selesai". Saya kemudian mengajaknya menuju meja supervisi untuk menandatangani surat pengakuan utang dari rumah sakit.  Lumayan besar biayanya. Sekitar 1,5 juta rupiah. "Waduh, Dok. Kalau sebesar itu biayanya, dimana saya mau ambil uang?" Itu sekelumit kisah tentang Jamkesmas. Beberapa pasien yang lain malah memilih untuk pulang paksa atau menolak untuk dirawat  karena tidak punya biaya atau asuransi kesehatan. Walau kadang penyakit yang mereka derita butuh penanganan segera. Lalu dimana mereka berobat? Entahlah.. Mengapa orang yang 'kurang berada' itu tidak memiliki kartu pelayanan kesehatan gratis pemerintah? Sejak tahun 2007- 2009 (awal) saya pernah menjadi kepala puskesmas, setidaknya saya sedikit mengetahui apa yang sebenarnya terjadi sehingga pasien yang benar-benar miskin seperti ibu ini tidak punya kartu jamkesmas atau kartu miskin. Ada beberapa hal yang menyebabkan sebagian warga miskin tidak mendapatkan jatah 'kartu miskin' untuk berobat itu.

  1. Kriteria miskin yang tidak jelas, sehingga yang menentukan miskin atau tidak berada di tangan kepala desa atau lurah.
  2. Nepotisme kepala desa/lurah. Ada kepala desa yang mendahulukan kerabatnya daripada warga yang lain. Sehingga banyak warga yang tergolong mampu atau kaya malah dikategorikan miskin oleh kepala desa/lurah. Sehingga jatah untuk warga miskin yang benar-benar miskin jadi berkurang.
  3. Warga yang 'ogah' mengurus asuransi atau jaminan kesehatan. Salah satu kebiasaan yang tidak baik warga Indonesia adalah mengurus asuransi kesehatan tatkala sudah sakit.
  4. Pemerintah daerah yang kurang peduli. Warga miskin yang tidak terserap dalam Jamkesmas seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah untuk dimasukkan dalam Jaminan kesehatan daerah (Jamkesda). Namun tidak semua pemda/pemkot peduli terhadap hal ini. Bahkan di tempat saya dulu tidak ada samasekali jaminan kesehatan dari pemerintah daerah untuk warganya yang belum mendapat jamkesmas.

Pada setiap laporan pagi (morning report) setelah jaga malam di rumah sakit tempat saya menempuh pendidikan, laporan pasien yang pulang paksa semua karena tidak punya biaya atau pulang untuk mengurus jamkesmas/kartu miskin. Orang miskin juga bisa sakit. Namun kita semua pasti sangat sedih bila sakit tapi tidak punya biaya untuk berobat sama sekali. Di negara kita yang 'hebat' ini fakir miskin dan anak-anak terlantar tidak semuanya dipelihara oleh negara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline