Saya tertarik dengan survei kecil-kecilan yang dilakukan oleh Minami di Kompasiana. Dari 26 buah hasil karya para penulis kompasiana, tercatat 21 buah atau sekitar 80,77 % postingan berupa kritik dan saran untuk pemerintah, sekitar 3 atau 11,54 % postingan berisi dukungan terhadap kebijakan pemerintah, dan kurang lebih 2 buah atau 7,79 % postingan bersifat netral atau tidak dalam posisi keduanya. Survei ini mungkin belum mewakili keadaan yang sebenarnya, tapi minimal itulah gambaran sekilas para kompasianer terutama yang menulis di kolom Polhukam. Hiburan yang berupa sentilan politik juga kebanyakan berisi kritik kepada pemerintah yang berkuasa saat ini. Pemerintahan SBY saat ini masih berjalan tanpa oposisi yang jelas. PDIP tidak secara tegas akan menjadi oposisi. Bahkan katanya tetap menunggu jatah menteri jika suatu saat dilakukan reshuffle kabinet. Parpol-parpol Islam semua cari aman dengan bergabung dalam kabinet SBY bahkan terkesan 'mengemis' jabatan menteri. Sehingga dikhawatirkan tidak akan ada mekanisme check and balance terhadap pemerintah yang berjalan. Hal ini bisa mengantarkan SBY menjadi seorang diktator. Indikasi ke arah itu sudah mulai nampak. Salah satunya adalah penarikan buku 'Membongkar Gurita Cikeas" yang 'sepertinya' bermaksud menjatuhkan citra SBY. Kabinet yang berukuran jumbo, RUU Pers, dan RUU rahasia negara bisa menjadi alat SBY untuk menjadi seorang diktator. Yang menjadi harapan untuk bisa menempatkan diri sebagai oposisi adalah masyarakat sipil dan media. Menurut saya salah satu komponen masyarakat yang bisa mengambil peran itu adalah para blogger Indonesia seperti para kompasianer. Disamping jumlah blogger Indonesia yang sudah melebihi 1 juta orang, sebagian besar memiliki kemampuan analisa politik di atas rata-rata. Hal ini bisa saya simpulkan setelah sekitar 1 bulan saya mengikuti tulisan-tulisan kompasianers. Blogger bisa membentuk opini publik dan media serta bisa menjadi satu kekuatan politik yang diperhitungkan. Namun siapkah para kompasiener/blogger menjadi oposan dan berkonsentrasi secara sungguh-sungguh untuk 'berseberangan' dengan pemerintah dalam mengontrol kebijakan yang tidak pro rakyat ? Dewan Perakilan Rakyat (DPR) yang seharusnya mewakili rakyat pada kenyataannya hanya setengah hati menjadi wakil rakyat. Salah satu contohnya, UU yang mereka hasilkan rata-rata tidak mewakili keinginan rakyat dan merugikan rakyat sehingga malah mendapat penentangan dari rakyat. Lihat saja bagaimana UU BHP, UU Migas, UU Penanaman Modal, UU SDA, UU Minerba yang sangat berpotensi menghancurkan perekonomian nasional dan lingkungan serta meningkatkan kemiskinan dan pengangguran, kebodohan, kelaparan di negeri yang kaya ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H