Setetes darah dapat mencegah air mata duka. Setetes darah dapat menyelamatkan jiwa. Kedua jargon itu sepertinya masih menjadi jargon yang sering dipakai oleh Palang Merah Indonesia (PMI) sebagai pengelola donor darah di Indonesia. Sehingga diharapan setiap orang tergerak hatinya untuk mendonorkan darah. Namun kedepan setiap rumah sakit diperbolehkan untuk memiliki bank darah dan unit transfusi darah sendiri, sehingga penyelenggaraan donor darah tidak akan menjadi monopoli PMI. Saat ini seolah-olah transfusi darah masih menjadi hal yang biasa dan kadang menjadi prosedur baku untuk untuk memberikan darah pada semua jenis operasi besar dan anemia (kurang darah). Namun sadarkah kita bahwa ternyata darah dapat membawa berbagai macam penyakit dan bisa menimbulkan reaksi yang mematikan ?Apakah sistem dan alat skrining yang dipakai oleh unit-unit transfusi darah di Indonesia benar-benar bisa mendeteksi adanya penyakit menular dalam darah ? Ternyata tidak. Ternyata sekitar 60% darah tidak diskrining dengan cara yang canggih (bisa mendetekasi hampir semua bibit penyakit dalam darah). Di Thailand, dari 3.000-4000 darah yang HIV negatif ternyata masih terdapat satu HIV positif dan di Abijan (Afrika) ditemukan satu darah yang positif HIV yang sebelumnya dinyatakan negatif dalam tiap 250 kantong darah. Data di Indonesia belum saya temukan. Tidak semua Unit Transfusi Darah (UTD) PMI yang ada di Indonesia belum alat canggih untuk skirning darah sehingga potensi penularan penyakit melalui darah masih besar. Darah itu Merah. Itulah hakekat darah saat ini. Blood is R -E-D yang berarti Rare - Expensive - Dangerous. Rare (jarang) karena memang darah adalah 'komoditi' yang langka. Beberapa daerah kadang kehabisan stok darah padahal yang membutuhkan banyak. Expensive (mahal) karena biaya penyiapan transfusi mahal. Kadang masyarakat mengasumsikan biaya tersebut sebagai harga tiap kantong darah. Biaya ini makin meningkat bila makin banyak tes yang dituntut untuk mengamankan transfusi dari berbagai macam penyakit. Dangerous (berbahaya) karena darah beresiko menularkan banyak penyakit dan menimbulkan banyak reaksi pada saat transfusi. Makanya saat ini di rumah sakit pendidikan indikasi pemberian transfusi darah sangat ketat. Kalau bukan indikasi, berarti itu adalah kontraindikasi. Dahuludarah dianggap sebagai jaringan, namun sekarang darah adalah organ. Melakukan transfusi darah adalah sama dengan melakukan transplanasi organ. Darah merupakan organ terbesar yang dimiliki oleh manusia. Setetes darah yang diberikan bisa membawa maut. Banyak reaksi yang terjadi tatkala orang menerima bagian organ orang lain ke tubuhnya. Mulai dari reaksi alergi, gagal ginjal, sampai pada kematian. Belum lagi dengan resiko penyebaran penyakit menular berbahaya seperti AIDS, Hepatitis B dan C, malaria dan lues. Resiko transmisi AIDS di Amerika adalah 0,02 -0,03 % per unit darah. Di negara-negara maju insidens hepatitis pasca transfusi adalah 3-10%(Rotondo,1993). Transfusi darah juga teryata dapat mempermudah kekambuhan kanker dan menurunkan daya tahan tubuh terhadap infeksi. Melihal hal-hal tersebut di atas, pemberian darah harus dilandasi oleh indikasi yang kuat dan quality control yang baik dan diharapkan setiap dokter atau rumah sakit (dalam SOP-nya) harus bersikap 'err on the safe side" yakni berusaha menghindari transfusi yang tidak perlu dan kurang perlu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H