Lihat ke Halaman Asli

Dokter Vs Dukun

Diperbarui: 26 Juni 2015   19:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dukun

Bau kemenyan menyeruak keluar sampe ke pendopo rumah pasien yang saya kunjungi. Sepertinya ada kemenyan yang dibakar dari dalam kamar pasien. Saya dipersilakan duduk di luar menunggu dukun selesai memberikan pengobatan pada pasien yang akan saya obati juga. Setelah sang dukun menyelesaikan ritualnya, saya diperbolehkan masuk. Aroma mistis itu masih terasa. Bau dupanya bahkan melengket dibaju saya, tidak  hilang sampai pulang ke rumah. Berbagai macam ramuan tersaji untuk pasien. Hmm… kalau tidak sembuh, pasien pasti kenyang dengan ramuan ini.

Perseteruan dokter vs dukun terjadi lagi. Hampir setengah jam saya menunggu sang dukun menyelesaikan ritualnya. Mungkin salah satu ciri masyarakat 'primitif' adalah mendahulukan mitos dan kepercayaan dibandingkan logika ilmu pengetahuan. Di tempat saya tugas yang dulu dokter masih menempati urutan nomor dua setelah dukun. Kalau tidak sembuh di dukun, baru beralih ke dokter. Kalau pasiennya sembuh, dukun mengklaim kesuksesannya. Pasien pun kadang mengatakan pada saya, kalau dia sembuh karena obat dari dukun. Kalo pasiennya tambah parah, obat atau tindakan dokter jadi kambing hitam.  Huh... Grrhhh..  Kadang saya tidak mau datang ke rumah pasien yang juga ditangani oleh dukun. Saya mempersilahkan mereka datang ke puskesmas untuk diberikan perawatan. Kalau memang tidak bisa bangun, saya jemput dengan ambulan. Sudah terlalu sering saya disalahkan pasien kalau pasiennya tambah berat atau tidak kunjung sembuh dengan obat yang saya berikan, padahal banyak sekali pasien masuk UGD akibat perbuatan dukun. Namun untuk terapi dukun yg merugikan pasien "terpaksa" harus ditentang. Bahkan walaupun pasien sudah saya ke puskesmas, mereka tetap memanggil dukun ke puskesmas. Pernah beberapa kali kejadian pasien dengan perdarahan lambung dipaksa minum ramuan beraneka rasa dan begitu keras utk lambung. Syok karena perforasi (bocor) lambungpun tidak terelakan lagi... dokter lagi yg repot. Masih untung kalau masih bisa sampai di rumah sakit. Beberapa pasien saya meninggal sebelum memasuki pintu UGD rumah sakit di kabupaten tetangga. Tapi sodara-sodara, saya pernah menyandang 2 predikat. Dokter sekaligus dukun ;-) Tapi bukan dukun beranak :-)Ceritanya begini. Beberapa kali ada pasien ngamuk (orang kampung bilang kesurupan), ketika  saya datang pasien langsung tenang  (hehe... setelah saya suntik dengan obat tertentu), plus saya komat-kamit baca doa untuk acting. Beberapa hari kemudian beberapa pasien datang ke rumah saya dengan membawa air  untuk dijampi-jampi. Saya juga heran, kok datang ke rumah dokter bukan minta obat tapi hembusan doa yang ditiupkan ke air (kadang air liurku terikut juga... hehe) plus saya berkan obat juga tentunya. Hasilnya, beberapa kali saya dipanggil ke rumah pasien hanya untuk dijampi-jampi saja... tidak mau minum obat apalagi disuntik. Wah repot juga jadinya. Jadi dukun beneran neh. Btw, ternyata bayaran jadi dukun lebih besar dari bayaran untuk dokter :-) dokter (yang tak lagi) kesepian

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline