Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Israq

Ejapi na nikana doang

Kekuasaan Begitu Menggoda, Kita Perlu Berhati-hati

Diperbarui: 1 Juni 2022   10:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Aku lebih suka menemukan rahasia-rahasia alam yang baru daripada menjadi seorang Raja Persia  
   -     Democritus


Bila seseorang tidak Bahagia, itu adalah kesalahannya sendiri karena Tuhan menciptakan semua manusia untuk bahagia
-Epictetus


Jangan iri dengan milik orang lain, siapa yang iri dengan milik orang lain, maka sulit mendapatkan kedamaian batin
-Buddha Gautama

Publik sulit luput dari perbincangan seputar kekuasaan, asumsinya didasarkan pada siapapun yang memperoleh kedudukan di pemerintahan maka dia dianggap telah menguasai individu dan kelompok lainnya. Secara etimologi kekuasaan berasal dari bahasa Inggris yakni power yang bermakna kemampuan berbuat dan bertindak. Miriam Budiarjo dalam bukunya yang berjudul Pengantar Ilmu Politik (2015) mengemukakan bahwa kekuasaan ialah kemampuan individu atau sekelompok orang untuk memengaruhi perilaku individu atau kelompok lainnya agar dapat mengikuti keinginannya.


Kita dapat merefleksi kembali betapa kekuasaan itu begitu menggoda, hingga perbuatan yang tidak senonoh pun menjadi lumrah. Di era Raden Wijaya memerintah kerajaan Majapahit, Dyah Halayuda yang merupakan salah seorang manggala ternama kerajaan gemar melancarkan fitnah disertai adu domba terhadap manggala lainnya, hal demikian bertujuan agar manggala-manggala lain tersingkir dari kerajaan hingga ia dapat menduduki posisi Mahapatih (jabatan tertinggi setelah Sri Maharaja).


Krisna Bayu Adji & Sri Wintala Achmad di dalam bukunya yang berjudul  Sultan Agung ; Menelusuri Jejak-jejak Puncak Kekuasaan Mataram, Raden Mas Rangsang atau Sultan Agung digambarkan sebagai Raja yang ambisius terhadap kekuasaan, ini disebabkan karena Sultan Agung ingin menjadi Raja satu-satunya di wilayah Jawa.


Kemudian, di dalam wiracarita Mahabharata, ada tokoh Sangkuni yang selalu menghasut para korawa agar mereka dapat melenyapkan pihak pandawa dari kerajaan Hastinapura, tujuannya agar pihak korawa yang diwakili Duryodana mendapatkan legitimasi sebagai Raja.


Ada baiknya kita tetap memegang teguh integritas yang ada di dalam diri kita meskipun godaan untuk menduduki suatu jabatan itu sangat terbuka lebar, jika kita tidak se-ideologi dengan mereka, kita perlu untuk menolaknya dengan cara yang tidak membuat mereka jatuh. Dalam buku 100 Catatan Pinggir karya Ahmad Pidris Zain, salah satu capingnya yang berjudul Taktik Kecoa mengemukakan bahwa kecendekiawanan yang dimiliki oleh I Mangngadacinna  Daeng Sitaba Karaeng Pattingalloang serta keulamaan yang melekat dalam diri Tuan Rappang tidak lantas menjadikan dirinya terbesit untuk menjadi Somba (Raja) di Gowa ataupun Bate (Dewan Legislatif). Mereka tetap berpijak pada karakter mereka sendiri. Begitu pun dengan Syekh Yusuf Tuanta Salamaka ri Gowa, ia tetap murni berposisi sebagai Panglima sekaligus ulama karismatik, ia tidak pernah berkeinginan menjadi Sultan Banten, meskipun beliau merupakan mantu dari Sultan Banten pada saat itu, yakni Sultan Ageng Tirtayasa.


Jika kita diberi kekuasaan oleh Tuhan Yang Maha Esa namun tidak dapat memberi kontribusi pada agama itu merupakan kesia-siaan. Kita dapat belajar dari Sultan Muhammad Al-Fatih, di mana sewaktu ia diberi kekuasaan, ia tidak lupa untuk memberi kontribusi terhadap penyebaran agama Islam. Begitupun yang telah dilakukan oleh Raja Gowa ke XIV, I Mangarangi Daeng Manrabia Sultan Alauddin Tominanga ri Gaukanna, setelah agama Islam menjadi agama resmi yang telah ditetapkan oleh kerajaan Gowa, ia kemudian menyebarkan agama Islam ke seantero Sulawesi Selatan dengan menunjuk Karaeng Matoaya sebagai ujung tombaknya.


Desas desus perihal siapakah tokoh yang kemudian akan menjadi nakhoda di tanah air mulai muncul di permukaan, beberapa tokoh politik di antaranya juga mulai mencitrakan diri untuk mendapatkan simpati rakyat. Di waktu yang bersamaan saya teringat dengan Umar Bin Abdul Azis dari Dinasti Bani Umayyah yang tatkala diusung untuk menjadi khalifah, ia dengan berat hati menerimanya karena ia sama sekali tidak menginginkan hal demikian. Sewaktu ia diangkat menjadi khalifah bukan "Alhamdulillah" yang terucap dari mulutnya, namun ia mengatakan "Innalillahi wa inna ilaihi rojiun". Ia menganggap bahwa jabatan tinggi merupakan musibah bagi mereka yang zuhud dan wara. Tentu sosok seperti Umar Bin Abdul Azis adalah sosok yang didambakan sebagian besar penduduk di muka bumi ini untuk dijadikan pemimpinnya, akan tetapi sosok seperti itu sudah sangat langka.


Kita juga dapat memetik hikmah dalam pemilihan Ketua Umum yang dilaksanakan oleh suatu organisasi/komunitas. Setelah salah seorang di antara beberapa kandidat terpilih menjadi Ketua Umum atau nakhoda baru di organisasi/komunitas maka sorak sorai akan bergema pada saat itu juga, beberapa di antara mereka menaruh harapan kepada sang nakhoda baru agar dapat mengantar para prajuritnya sampai pada pelabuhan yang telah disepakati. Akan tetapi di saat perjalanan masih setengah perjalanan, banyak di antara prajurit bahkan para Chief Officer juga sudah tidak mau melanjutkan perjalanan, akhirnya mereka terjun ke laut untuk mencari kapal baru untuk ditumpangi. Maka dalam hal ini seorang calon nakhoda sebenarnya tidak perlu khawatir, karena sebelum menduduki posisi nakhoda seseorang itu sudah pasti meneropong perjalanannya, mulai dari kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan yang kemungkinan akan terjadi ke depannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline