Lihat ke Halaman Asli

Muhammad IrgiSyaawal

Mahasiswa Ilmu Politik

Melawan Politik Identitas demi Demokrasi yang Sehat

Diperbarui: 19 Agustus 2021   21:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pemilu merupakan pesta demokrasi yang menjadi suatu keniscayaan di Indonesia. Sebagai negara demokrasi Indonesia menyelenggarakan pemilu setiap lima tahun sekali. Artinya setiap lima tahun itu juga kampanye-kampanye politik yang penuh intrik pasti terjadi. Namun intrik politik setiap penyelenggaraanya selalu memiliki keunikannya masing-masing. Walaupun penyelenggaraan pemilu yang adil dan demokratis baru dilakukan sebanyak empat kali, namun telah banyak intrik politik pada massa kampanye yang telah dilewati.

Pemilu 2019 bisa dikatakan menjadi Pemilu yang paling menyita perhatian seluruh masyarakat Indonesia karena angka partisipasi pemilih yang mencapai 81% tertinggi dibanding tiga penyelenggaraan pemilu presiden sebelumnya[1]. Pertarungan keras antar pedukung di media sosial sangat terasa. Salah satu penyebab kegaduhan tersebut adalah para pendukung yang  saling serang menggunakan isu politik identitas. Imbasnya, polarisasi dimasyarakat tidak bisa dihindari lagi.    

 POLITIK IDENTITAS PADA PEMILU 2019

 Politik Identitas secara defisini terbagi menjadi dua kata yaitu politik dan identitas. Politik merupakan berbagai kegiatan yang diilakukan dalam sistem kenegaraan yang berkaitan degan proses untuk mencapai tujuan-tujuan dari sistem kenegaraan tersebut[2]. Sedangkan identitas secara etimologi berasal dari kata identity yang memiliki arti sebuah ciri yang melekat pada seorang individu atau kelompok seperti suku, ras, agama, dan antar golongan yang membedakannya dengan lainnya[3]. Dengan demikian politik identitas merupakan sarana untuk mencapai tujuan politik dengan cara memanfaatkan identitas politik[4]. Kemunculan politik identitas ini biasanya disebabkan karena adanya faktor-faktor tertentu yang dipandang oleh suatu kelompok sebagai sesuatu yang dapat mengancam yang berupa ketidakadilan politik yang dirasakan oleh mereka[5]. Ini terjadi karena kelompok tersebut berupaya mempertahankan identitas dan karakteristik budayanya dari ancaman pihak lain[6]. 

Jika kita tarik kembali pada konteks pemilu 2019, politik identitas begitu marak terjadi. Politik identitas berbasiskan agama pada Pemilu 2019 disebabkan beberapa kelompok islam yang merasa tertindas dan ditekan oleh pemerintah yang akan menjadi petahana dalam kontestasi Pilpres 2019[7]. Namun di sisi pemerintah sendiri mereka memainkan isu ini juga karena tertekan akibat banyaknya tuduhan akan represifnya pemerintah pada kelompok islam[8]. Keduanya sama-sama memainkan politik identitas dalam pertarungan politiknya. Diawali oleh klaim dukungan dari kelompok-kelompok yang mengatasnamakan agama kepada para calon kandididat yang akan bertarung. Prabowo Subianto menjadi pihak pertama yang mendapat akomodasi dengan dideklarasikan sebagai capres “pilihan ulama” pada Ijtima Ulama I yang digawangi oleh kelompok ulama yang tergabung dalam Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama[9]. Forum tersebut menyatakan dukungan pada Prabowo Subianto untuk maju pada Pilpres 2019 dan merekomendasikan dua nama Cawapres pilihan mereka untuk mendampingi[10]. Sedangkan Jokowi sebagai calon Petahana tak mau kalah memainkan isu politik identitas ini. Ia secara mengejutkan memilih Ma’ruf Amin yang merupakan ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai calon Wakil Presiden untuk mendampinginya padahal kala itu Mahfud MD telah berada dekat tempat deklarasi pencapresan Jokowi. Namun karena KH. Ma'ruf Amin yang dipilih maka kemudian Mahfud MD yang telah memakai kemeja putih tersebut diperintahkan untuk menjauh lagi dari tempat deklarasi. Kemudian disusul dengan Majelis Silaturrahim Kiai dan Pengasuh Pondok Pesantren se-Indonesia (MSKP3I) mendeklarasikan “dukungan ulama” dalam Pilpres 2019 kepada pasangan Jokowi-Ma’ruf[11]. Prabowo-Sandi tidak mau kalah, keesokan harinya mereka menandatangani pakta integritas hasil ijtima ulama kedua GNPF ulama yang menyatakan dukungan sepenuhnya kepada pasangan Prabowo-Sandi di Pilpres 2019[12]. 

Puncaknya pada kampanye akbar dari masing-masing calon yang diadakan di SUGBK. Terasa sekali politik identitas pada saat itu. Pada 2 minggu sebelum hari pencoblosan pasangan Prabowo-Sandi mendapat giliran untuk kampanye akbar di SUGBK[13]. Pada saat itu kampanye sangat kental dengan nuansa keagamaan[14]. Bahkan rangkaian acara yang dilakukan oleh para pendukungnya adalah melantunkan zikir, doa bersama, solawat badar, solawat nabi, hingga orasi-orasi yang disampaikan oleh para tokoh agama seperti Ustad Bachtiar Nasir[15]. Sedangkan pada minggu terakhir masa kampanye giliran Pasangan Jokowi-Ma’ruf yang berkampanye di SUGBK. Rangkaian acara kala itu sangat bernuansa modern dengan konsep konser musik fun yang dihadiri berbagai musisi kenamaan tanah air[16]. Namun sayangnya diakhir acara suasana keagamaan kembali sangat terasa dengan dikumandangkannya solawat yang dipimpin para tokoh agama seperti ustad Yusuf Mansur hingga akhir acara[17]. Hal ini memperlihatkan dengan jelas bahwa keduanya memainkan politik identitas sepanjang Pilpres 2019.  

 POLITIK IDENTITAS MENJADI ANCAMAN BAGI DEMOKRASI KITA 

 Tujuan dari Demokrasi bukan hanya memperbaiki pada struktur organisasi yang menjadi lebih baik, tetapi melihat progres warga negara untuk mencapai tujuan masing-masing[18]. Demokrasi membebaskan setiap warga negara untuk berekspresi secara bertanggung jawab dalam menentukan suaranya[19]. Seharusnya sistem seperti ini dapat mendewasakan warganya. Namun jika Politik Identitas digunakan sebagai isu-isu kampanye politik sesaat untuk kebutuhan electoral saja oleh setiap kandidat, mencapai semangat demokrasi yang menciptakan iklim pemilihan kompetitif dan bebas menjadi mustahil terwujud. Proses mewujudkan kecerdasan politik masyarakat Indonesia menjadi terhambat. Masyarakat tidak lagi memilih karena integritasnya melainkan hanya memilih karena adanya kesamaan identitas semata. 

Pemerintah telah berupaya mengakhiri polarisasi yang ada dimasyarakat akibat politik identitas ini dengan cara melakukan rekonsiliasi dengan lawan mereka di pilpres[20]. Bahkan dengan tegas dalam pertemuan perdananya dengan Prabowo Subianto pasca Pilpres, Presiden Jokowi menegaskan pada seluruh masyarakat bahwa tidak ada lagi cebong dan kampret[21]. Namun Presiden sepertinya lupa bahwa pertarungannya di pilpres bukan hanya melawan seorang Prabowo Subianto tetapi juga melawan kelompok-kelompok islam garis keras yang menjadi garis terdepan dalam memainkan isu politik identitas di kubu Prabowo. Menurut Eric Nordlinger, konflik politik bisa diselesaikan dengan kompromi kedua pihak untuk sepakat saling menyesuaikan diri dengan kepentingan dan nilai pihak lain[22]. Dengan cara seperti itu, artinya pemerintah harus bisa saling merangkul dan menerima keberadaan mereka kelompok ektrem tersebut dengan baik.

 PENUTUP

 Mengingat kedua capres yang bertarung langsung saja sudah Bersatu, harusnya sudah tidak ada alasan lagi bagi masyarakat untuk tepecah belah. Masyarakat harus dapat belajar dari peristiwa ini bahwa sejatinya politik identitas yang telah memecah belah mereka hanyalah alat para elit politik untuk mendapatkan kemenangan. Setelah semua pertarungan berakhir, mereka para elit politik sudah tidak peduli dengan identitas masing-masing yang mereka pedulikan kini hanya bagaimana kepentingan mereka terpenuhi. Masyarakat harusnya sadar bahwa memilih berdasarkan identitas yang kandidat miliki saja sudah tidak relevan lagi. Saatnya masyarakat dewasa dalam memilih agar terciptanya iklim demokrasi yang bebas dan kompetitif.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline