Maraknya pelecehan seksual saat ini yang terjadi di beberapa daerah membuat kita geleng-geleng kepala, bagaimana tidak? Pelaku dari pelecehan seksual tersebut sama sekali tidak kita duga, bahkan seorang guru sekolah dan ustadz saja bisa tega melakukan hal keji tersebut dan tidak menutup kemungkinan juga bisa dari teman kerja, kerabat dekat maupun keluarga sendiri.
Jadi, di sini saya akan membahas dan mengulik dampak dari pelecehan seksual non verbal yang mengintai perempuan. Mungkin dari sebagian pembaca tidak tahu apa itu pelecehan seksual non verbal tersebut. Berdasarkan jurnal pada fakultas hukum Universitas Medan Area, pelecehan seksual non verbal adalah pelecehan non lisan yang berafiliasi dengan sentuhan fisik. Melecehkan seseorang dengan kedua tangan serta matanya kepada orang lain, dapat diakibatkan berasal dari kesengajaan atau tidak disengaja oleh korbannya sendiri.
Dalam buku Buletin Psikologi karangan Sri Kurnianingsih, posisi perempuan dalam kehidupan sosial ternyata belum sejajar dengan laki-laki meskipun upaya ke arah itu telah lama dan terus dilakukan. Kekuatan faktor sosial, kultural dan institusional yang menempatkan perempuan lebih rendah daripada laki-laki menjadi penyebab pokok kenyataan itu. Analisis gender selalu menemukan bahwa sebagian perempuan mengalami subordinasi, marginalisasi, dominasi dan bahkan kekerasan. Bahkan di rumah sendiri pun perempuan tidak bisa lepas dari kekerasan.
Salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan adalah kekerasan seksual. Dari banyak data yang ada tampak bahwa kekerasan seksual di tempat kerja terbuka ataupun tertutup sama banyaknya dengan kekerasan non seksual. Kekerasan seksual sering disamakan dengan pelecehan seksual. Dari perspektif perempuan sebagai korban, keduanya memang tidak berbeda. (Sri Kurnianingsih, 2003)
Pada peristiwa pelecehan seksual sebagian besar korbannya adalah perempuan dan pelakunya hampir pasti dilakukan oleh laki-laki. Tidak berarti bawah tidak ada laki-laki yang mengalami atau menjadi korban dari pelecehan seksual. Namun dari proporsi dan jumlahnya tergolong sangat kecil (Offerman & Malamut, 2002). Dengan demikian, sangat pentingnya membahas pelecehan seksual terhadap perempuan memang harus didukung dengan fakta kuat tanpa harus membantah kenyataan yang tidak seharusnya.
Pelecehan seksual non verbal atau godaan fisik banyak diantaranya adalah dalam bentuk tatapan yang sugestif (memberikan suatu maksud tertentu) terhadap bagian--bagian tubuh (payudara, pinggul, atau bagian tubuh lainnya), lirikan atau tatapan yang menggoda dan mengedipkan mata, rabaan (cubitan, menggelitik, remasan, mencium dan mendekap), gangguan seksual seperti ciuman atau rabaan yang terjadi dikarenakan situasi yang sangat-sangat mendukung, seperti misalnya di koridor, tangga darurat, lift dan ruangan lainnya yang sepi tidak ada orang, memojokkan untuk dicium, proposisi seksual, tekanan yang halus untuk aktivitas seksual, usaha perkosaan dan perkosaan itu sendiri. (Sri Kurnianingsih, 2003)
Jika dilihat dari aspek situasional, aksi pelecehan seksual dapat dilancarkan dimana saja dan dengan kondisi tertentu. Perempuan korban pelecehan seksual dapat berasal dari setiap umur, karakteristik, ras, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, kelas sosial, pendapatan dan tempat kerja (Hadjifotiou, 1983; Higgins dan Hawkins, 1986).
Di Indonesia, sepanjang Januari sampai Juli 2022 Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat terdapat 12 kasus pelecehan seksual yang terjadi pada anak khususnya perempuan di lembaga pendidikan. Komisioner KPAI Retno Listyarti menyampaikan hal itu berdasarkan hasil pantauannya di media sosial atau media massa berdasarkan laporan kasus yang keluarga korban laporkan ke kepolisian.
"Dari Januari sampai Juli 2022 telah dicatat 12 kasus pelecehan seksual yang terjadi 3 (25%) sekolah dalam wilayah KemendikbudRistek dan 9 (75%) di satuan lembaga pendidikan di bawah naungan Kementerian Agama," ujar Retno di siaran pers Sabtu, 23 Juli 2022 (KOMPAS TV).
Retno melanjutkan, semester dilihat dari jenjang pendidikan, kasus pelecehan dan kekerasan terjadi di jenjang Sekolah Dasar sebanyak 2 kasus, jenjang Sekolah Menengah Pertama sebanyak 1 kasus, pondok pesantren sebanyak 5 kasus, madrasah mengaji atau tempat ibadah sebanyak 3 kasus, serta di tempat kursus musik bagi anak TK dan SD sebanyak 1 kasus.
"korban pelecehan seksual pada 12 kasus tersebut berjumlah 52 anak, di mana 69 persen terjadi pada anak perempuan dan sisanya yaitu 31 persen yang terjadi pada anak laki-laki dengan rincian 16 anak laki-laki dan 36 anak perempuan, rentang usia para korban antara 5 sampai 17 tahun. Sementara untuk para pelaku berjumlah 15 orang, diantaranya yaitu 12 guru, 1 pemilik pesantren, 1 anak pemilik pesantren, dan 1 kakak kelas korban," ucap Retno.