Lihat ke Halaman Asli

Bahasa dan Disinformasi di Era Media Sosial

Diperbarui: 19 Maret 2024   06:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di era media sosial yang serba cepat, informasi mengalir deras dan tak terbendung. Sayangnya, di antara banjir informasi tersebut, terselip banyak disinformasi, yakni informasi yang salah dan menyesatkan. Disinformasi ini seringkali disebarkan dengan memanfaatkan kekuatan bahasa.

Teknik Bahasa dalam Disinformasi

Sumber gambar: https://www.alinea.id/media/permainkan-algoritma-kontrol-platform-medsos-atas-ruang-publik-terbukti-gampang-disalahgunakan-b2fq59GJo

Para penyebar disinformasi menggunakan berbagai teknik licik untuk membuat informasinya tampak meyakinkan. Salah satu caranya adalah framing, yakni membingkai informasi dengan sudut pandang tertentu yang menyesatkan. Misalnya, sebuah berita mungkin akan menggunakan judul bombastis dan penuh emosi untuk menarik perhatian pembaca, alih-alih fokus pada fakta yang sebenarnya.

Selain itu, disinformasi juga seringkali memanfaatkan emosi. Para penyebar disinformasi tahu bahwa orang cenderung lebih mudah terpengaruh oleh emosi daripada logika. Oleh karena itu, mereka seringkali menggunakan kata-kata dan frasa yang memicu ketakutan, kemarahan, atau sentimentilitas.

Teknik lain yang umum digunakan adalah penggunaan kata-kata dan frasa yang provokatif. Kata-kata seperti "bahaya," "krisis," atau "musuh" dapat membuat orang terpancing dan kurang berpikir kritis terhadap informasi yang mereka terima. Lebih parahnya lagi, para penyebar disinformasi terkadang tak segan-segan menggunakan kebohongan langsung atau memanipulasi data untuk membuat informasi mereka tampak kredibel.

Contoh Konkrit Disinformasi

Sumber gambar: https://www.kompas.com/cekfakta/read/2022/01/21/101730382/perbedaan-misinformasi-dan-disinformasi-serupa-tapi-tak-sama?page=all

Pada tahun 2020 dari semua banyak kasus salah satu diantaranya, sebuah video viral di media sosial yang menunjukkan seorang pria yang diklaim sebagai pasien virus corona. Video tersebut disertai narasi yang menyebutkan bahwa pria tersebut meninggal dunia setelah tertular virus corona. Faktanya, pria tersebut tidak meninggal dunia karena virus corona, melainkan karena penyakit lain. Video tersebut merupakan contoh disinformasi yang dapat menimbulkan kepanikan dan keresahan di masyarakat.

Dampak Disinformasi

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline