Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Iqbal Suma

Penulis, Peneliti

Dari Tunai ke Pindai

Diperbarui: 3 Juni 2023   11:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Akselerasi teknologi telah mendorong perubahan sosial-ekonomi di seluruh dunia. Laju teknologi telah memungkinkan digitalisasi sejumlah proses terjadi secara eksponensial, mendorong inklusivitas tidak hanya bagi warga negara tetapi juga bisnis dan pemerintah, termasuk di negara-negara dalam Kawasan ASEAN. Saat wilayah antar negara ASEAN terhubung dengan lebih mudah, arus transportasi barang dan orang meningkat secara signifikan dan mendorong transaksi jual beli menjadi lebih mudah dalam skala yang lebih besar. Wilayah ASEAN menjadi Kawasan yang diprediksi akan mengalami pertumbuhan ekonomi yang signifikan karena tingginya potensi transaksi ekonomi di wilayah ini.

Wilayah ASEAN diprediksi akan tumbuh menjadi regional yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang signifikan hingga tahun 2025. Beberapa ahli memprediksi Indonesia akan masuk dalam 10 besar negara dengan ekonomi terkuat di dunia, bersaing dengan para raksasa ekonomi seperti Cina, Amerika dan Brazil (Jacques, 2012).  Secara ekonomi, wilayah ASEAN dapat dikatakan merupakan kawasan dengan pertumbuhan ekonomi tercepat di dunia pada tahun 2022 jika dibandingkan dengan regional lain. Merujuk pada laporan yang dirilis Asian Development Bank, pertumbuhan ekonomi di Asia Tenggara akan mencapai 5,5 persen hingga 2022. Bahkan Analis dari Credit Suisse memprediksi terjadinya pertumbuhan pada enam negara ASEAN, yaitu Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam, yang diproyeksikan mencapai 4,4 persen pada 2023. Nilai ini lebih tinggi dari pada pertumbuhan ekonomi rata-rata global yang dalam perkiraan IMF mencapai 3,2 persen pada 2022 dan 2,7 persen pada 2023. Potensi transaksi online di ASEAN juga menjadi salah satu yang terbesar secara global. Transaksi online negara-negara Asean mencapai 26% pada 2019.

Selain itu, perkembangan perdagangan barang dan jasa secara online, atau e-commerce, telah mengkatalisasi transformasi ekonomi secara global. Transformasi digital menjadi tren global, dengan pendapatan total mencapai US$1. triliun pada tahun 2018 dan diperkirakan tumbuh menjadi US$2,7 triliun pada 2023. Wilayah ASEAN memiliki pasar daring dengan pertumbuhan tercepat di dunia, dengan ukuran pasar mencapai US$72 miliar pada tahun 2018 dan menjadikan e-commerce sebagai sektor paling dinamis di kawasan ASEAN. Pasar e-commerce regional ASEAN diproyeksikan tumbuh rata-rata 25%--35% per tahun. Pada tahun 2025, e-commerce mewakili pasar global dengan nilai transaksi diperkirakan lebih dari US$100 miliar.

Dengan pesatnya peningkatan perdagangan antara negara di Kawasan ASEAN telah mendorong kebutuhan terhadap sistem pembayaran lintas negara (cross border payment) yang lebih efektif dan menjangkau wilayah antara negara Kawasan ASEAN. Pembayaran lintas negara terjadi Ketika transaksi melibatkan pembeli dan penjual berada dalam yurisdiksi berbeda, dan bahkan bahkan bank dari negara yang berbeda. Pembayaran lintas negara lebih kompleks daripada pembayaran domestik atau lokal karena melibatkan hukum dan peraturan berbeda, mata uang berbeda, zona waktu yang berbeda sehingga jenis transaksi lintas negara seperti ini memerlukan perantara dan infrastruktur pembayaran yang memadai.

Untuk mendorong konektivitas sistem pembayaran di Kawasan ASEAN, Bank Indonesia (BI) sebagai bank sentral telah memulai inisiasi tersebut melalui proyek Kerjasama yang disebut sebagai Proyek Nexus dengan 5 bank sentral, yaitu Bank Negara Malaysia (BNM), Bangko Sentral ng Pilipinas (BSP), Monetary Authority of Singapore (MAS) dan Bank of Thailand (BOT).  Setidaknya ada tiga kata kunci dalam membangun sistem pembayaran negara ASEAN yang diprakarsai oleh BI, yaitu Connectivity, Governance dan Campaign atau dikenal dengan singkatan CGC.

 Upaya meningkatkan konektivitas sistem pembayaran di Kawasan ASEAN memiliki banyak keunggulan dibandingkan sistem pembayaran lokal atau domestik, seperti aspek keamanan, kecepatan proses transaksi, efisiensi dan kenyamanan antar pihak yang melakukan transaksi. Sistem pembayaran lintas negara yang diinisiasi oleh Bank Indonesia juga diharapkan memainkan peran kunci dalam inklusi keuangan, karena dapat meningkatkan akses terhadap layanan keuangan non-perbankan bagi masyarakat atau bisnis yang memiliki akses terbatas pada perbankan.

Meskipun demikian, hadirnya cross-border payment juga membuat sistem pembayaran konvensional dan uang tunai menjadi usang (obselet). Mengintegrasikan sistem pembayaran baru secara tiba-tiba akan dapat mengganggu proses bisnis bagi para professional yang perlu menyesuaikan dengan sistem pembayaran yang baru. Lalu, apa artinya sistem pembayaran lintas negara ini bagi konsumen, platform pembayaran, perusahaan teknologi, regulator, bank dan professional bisnis secara umum?

Hal pertama yang perlu ditekankan adalah, bahwa pembayaran lintas negara di Kawasan ASEAN melibatkan lebih dari satu mata uang atau setidaknya memerlukan konversi mata uang karena transaksi terjadi melibatkan 2 orang dari 2 negara berbeda. Pembayaran lintas negara akan menambah kerumitan pada proses kliring dan juga disebabkan karena sebagian besar bank tidak berpartisipasi langsung dalam sistem pembayaran di luar negara tempat pendiriannya yang sah oleh karena itu membutuhkan lembaga keuangan lain yang bertindak sebagai perantara untuk mengakses sistem dan menyelesaikan pembayaran dalam mata uang lokal.

Resiko lain yang muncul dari sistem pembayaran yang dikirim melalui jaringan perbankan koresponden karena transaksi harus melewati beberapa bank menyebabkan penundaan pembayaran, biaya pelayanan tinggi dan kurangnya transparansi atas status pembayaran individu. Hambatan ini dapat membuat pelanggan frustrasi, dengan penundaan waktu pembayaran dan kurangnya kejelasan biaya.

Di sebagian besar yurisdiksi, pembayaran lintas negara masih jauh lebih mahal, membutuhkan waktu lebih lama dan kurang transparan dibandingkan pembayaran domestik. Masalah-masalah ini mungkin lebih parah di negara-negara miskin dengan sistem pembayaran terbelakang, namun tetap relevan bagi banyak orang yang tinggal di Kawasan ASEAN.

Ada peluang besar yang muncul dari rekayasa ulang infrastruktur pembayaran global dengan bantuan teknologi baru, tetapi hanya jika sektor publik dan swasta bekerja sama secara erat untuk memastikan interoperabilitas sistem dan penyelarasan peraturan lintas batas. Sistem pembayaran lintas negara dapat dilakukan melalui transfer bank, pembayaran kartu kredit, dan metode pembayaran alternatif seperti w-wallet atau penggunaan QRIS.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline