Sehemat penulis, kata overthinking baru-baru ini saja muncul. Kurang lebih, satu dekade terakhir, saat dunia dilanda oleh gempuran globalisasi yang luar biasa.
Overthinking merupakan salah satu masalah kejiwaan (psikis). Menurut ilmu psikologi, overthinking adalah pemikiran yang berlebihan terhadap sesuatu hal.
Misalnya, seseorang yang kepikiran terhadap pasangannya (pacar/doi/gebetan) yang tidak mengabarinya selama beberapa hari, hingga timbul asumsi-asumsi dia selingkuh, tidak peduli, dan diabaikan.
Apakah itu hal yang wajar? Pada dasarnya rasa cemas dan gelisah, secara alamiah, adalah sebuah kewajaran. Sudah menjadi sifat manusia jika dilanda rasa cemas dan gelisah terhadap sesuatu.
Namun, ketidakwajaran tersebut timbul di saat rasa cemas dan gelisah itu berlebihan dan keluar daripada logika, sifat alamiah, dan perasaan wajar seorang manusia.
Hal-hal tersebutlah yang kemudian dikatakan overthinking (kegelisahan yang berlebihan).
Jika kita telaah lebih dalam, overthinking tidak lebih daripada kebuntuan pikiran terhadap sesuatu yang belum tentu benar dan terjadi. Seperti seorang mahasiswa yang gelisah saat nge-chat dosen untuk bimbingan atau sekedar menanyakan "Apa kabar?"
Karena doktrin, dogmatis, dan kabar-kabar burung yang menyatakan bahwa seorang dosen adalah manusia yang super sibuk atau sekedar takut diabaikan, mahasiswa enggan untuk berkomunikasi secara intens dengan seorang dosen.
Padahal, menurut salah seorang dosen penulis, dosen sangat senang dan bahagia jika mahasiswa menganggap dosen tersebut bukan sebagai makhluk yang feodal.
Dosen pun sangat senang terhadap mahasiswa yang sopan, beretika, dan memiliki tata krama. Karena bagi dosen value (nilai) seorang mahasiswa terletak pada etikanya.