Beberapa waktu yang lalu, saya mendapat kesempatan menjadi moderator dalam sebuah forum yang dihadiri oleh JJ Rizal, seorang sejarawan kondang sebagai narasumber.
Pada penghujung forum tersebut, ia mengatakan, "JIka hari ini kita tidak bisa menemukan keteladanan dari aktor-aktor politik yang hidup, sumber keteladanan itu bisa kita pelajari dengan menggali sejarah dari tokoh-tokoh politik kita yang sudah wafat. "
12 Agustus 1902, lahir seorang negarawan besar Indonesia, sumber keteladanan yang sampai hari ini sulit dicari tandingannya, ialah Mohammad Hatta.
Jika refleksi nilai-nilai politik yang muncul dominan hari ini adalah rakus, tidak punya malu, nir-etik, amoral, tidak berisi dan jauh dari nilai integritas. Nilai-nilai yang dimiliki oleh Bung Hatta adalah lawan dari semua sifat tersebut.
Beliau dikenang sebagai tokoh yang sederhana. Andaikan periode awal pemerintahan Indonesia ada aturan bagi pejabat untuk melaporkan LHKPN, barangkali Hatta menjadi salah satu pejabat dengan harta kekayaan yang paling kecil.
Bayangkan saja, sebagai proklamator dan orang paling berkuasa nomor dua di republik, ada cerita bahwa Bung Hatta harus terengah-engah membayar tagihan listrik rumahnya yang terletak di Menteng.
Di akhir masa hidupnya, bahkan Bung Hatta pernah berpikir untuk menjual kepunyaannya yang paling berharga, yaitu buku-bukunya karena khawatir uang pensiunnya tidak cukup untuk menghidupi keluarga.
Ketika hari ini kita menyaksikan banyaknya orang mengantre dan rela menjual dirinya untuk menjadi komisaris, lain sekali dengan apa yang dilakukan oleh Bung Hatta.
Setelah Bung Hatta mundur sebagai wakil presiden, ia ditawari jabatan komisaris pada berbagai perusahan asing maupun pribumi. Ia menolak seluruhnya dan mengatakan "Apa kata rakyat nanti!".
Sepanjang hidupya, Bung Hatta hidup dalam kesederhanaan, tidak aji mumpung memupuk kekayaan pribadi saat berkuasa dan tidak semena-mena memanfaatkan kekuasaannya untuk kepentingan keluarga dan golongannya.