Ini adalah awal dari jurnal kuliner pribadiku, di mana setiap hidangan mengandung cerita yang membentuk perjalanan hidupku. Dan, kenapa dimulai dari nasi padang? Karena bagianku dari masa kecil, dari kehangatan keluarga, dan dari momen-momen sederhana yang kini terasa begitu besar, semua terikat erat dalam rasa gurih bumbu nasi padang.
Masa kecilku banyak dihabiskan di Jayapura, Papua, jauh dari akar leluhur orang tuaku yang berasal dari Bugis, Sulawesi Selatan. Awalnya, bapakku pergi merantau seorang diri, mencari kehidupan yang lebih baik. Setelah cukup yakin bahwa Jayapura penuh harapan, ia pun pulang untuk menikahi dan membawa serta ibuku. Maka, aku lahir dan dibesarkan di kota itu, dengan nama Jayapura tercetak dalam akte kelahiranku.
Salah satu kenangan paling kuat adalah saat aku masih sekolah dasar, ketika bapak selalu mewajibkan aku tidur siang. Katanya, "Tidur siang itu bikin kamu tumbuh tinggi dan sehat." Tapi jujur saja, bagiku tidur siang itu bukan hal mudah. Karena aku sering sulit terlelap, bapak memberikan hadiah kecil sebagai pemicu---sebungkus nasi padang favorit dari warung di depan kantor mama.
Bapak sering di rumah saat siang, dan setiap kali aku tertidur dengan taat, mama akan membeli nasi padang sebagai hadiahnya. Warung nasi padang itu tepat di seberang jalan dari kantor ibu, tempat pegawai kantor sering mampir, termasuk ibuku. Dan Jayapura kala itu, nasi padang masih cukup mahal bagi kami yang sedang merintis hidup di tanah rantau. Karena itulah, nasi padang hanya jadi hadiah istimewa atau dibeli ketika mama mendapat gaji.
Ada juga masa-masa aku sakit, dan orang tuaku tahu bagaimana menghiburku---dengan nasi padang. Anehnya, hanya saat aku sakit, selera makanku muncul penuh, dan nasi padang menjadi satu-satunya yang bisa kusantap habis sendiri. Bagi kami, sebungkus nasi padang adalah kebahagiaan yang biasanya dinikmati bersama. Tapi ketika aku sakit, rasanya berbeda---rasa bumbu yang tajam menjadi obat tersendiri.
Sekarang, aku bisa membeli nasi padang dengan lebih mudah, tetapi setiap kali melihat bungkus koran dan kertas minyak itu, kenangan masa kecilku kembali menyeruak. Setiap suapan bukan sekadar makan, tetapi mengingatkan pada perjuangan orang tua demi kebahagiaan kecil anaknya. Meski sederhana, dari situlah aku belajar bahwa kebahagiaan tidak selalu tentang besar atau mahalnya hadiah, tapi tentang ketulusan usaha yang tersimpan di dalamnya.
"Kebahagiaan bukanlah tentang seberapa besar yang kita dapat, tetapi seberapa dalam kita menghargai apa yang diberikan."
Cerita ini juga ada di blog saya nyusunkata
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H