Beberapa waktu ini perencanaan kebijakan pendidikan baru oleh Mendikbud, Muhadjir Effendi, menjadi ramai diperbincangkan. Kebijakan tersebut adalah penghapusan PR di sekolah. Beliau menyampaikan hal ini saat menghadiri acara pelantikan dirjen guru dan tenaga pendidikan.
"PR itu sejatinya memang jangan dibebankan lagi ke siswa. Jadi sekolah-sekolah mengembangkan cara-cara belajar yang tuntas," ujar Muhadjir.
Secara tidak langsung, beliau mengharapkan agar guru menyelesaikan pelajaran di sekolah, sehingga dirumah, siswa dapat melakukan hal lain.
Wacana penghapusan PR di sekolah sebenarnya telah muncul sejak dua tahun lalu. Bahkan ada beberapa sekolah yang telah menerapkan kebijakan ini, khususnya sekolah yang bersifat Full day School.
Rupanya Kemendikbud ingin agar sistem pendidikan Indonesia tidak kalah dengan sistem pendidikan di negara-negara dengan pendidikan yang maju. Sebut saja Finlandia yang merupakan negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia. Hal ini terbukti dari hasil tes PISA (Programme for International Student Asessment) dimana siswa Finlandia selalu memperoleh peringkat teratas.
Sekolah-sekolah di Finlandia tidak memberikan beban kepada siswa melalui PR. Ujian bukanlah standar guru untuk menilai kemampuan siswa. Hanya ada satu tes standar wajib yaitu ketika siswa berusia 16 tahun.
Selain itu, di Finlandia, kurikulum nasional hanya sebagai pedoman, sisanya bersifat fleksibel. Berbeda dengan di Indonesia yang menyama-ratakan standar ditiap sekolah. Terkadang menyampingkan kualitas dan kuantitas sumber daya pengajar, kemampuan dasar siswa, maupun kondisi sosial budaya lingkungan sekolah.
Kembali ke topik penghapusan PR. Pekerjaan rumah atau kita kenal PR adalah tugas yang diberikan seorang pengajar kepada nara didik. PR dikerjakan baik secara mandiri maupun kelompok di luar ruang kelas. PR merupakan suplemen tersendiri untuk meningkatkan wawasan, kedisiplinan, dan rasa tanggung jawab siswa.
Setidaknya ada 3 tujuan diberikan PR: Mengulang pelajaran, menuntaskan pelajaran, dan penunjang nilai akhir