Lihat ke Halaman Asli

muhammadilham

Mahasiswa Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Profil KH. Achmad Siddiq, Pencetus Trilogi Ukhuwah

Diperbarui: 24 Desember 2024   18:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Pinterest

Biografi

KH Ahmad Shiddiq merupakan salah satu ulama progresif pada masanya. Ia lahir pada 10 Rajab 1344 H atau 24 Januari 1926 di Talangsari, Jember, Jawa Timur, sebagai anak bungsu dari pasangan KH Muhammad Siddiq dan Nyai Maryam. Sejak kecil, ia telah mempelajari agama Islam di pesantren yang diasuh oleh ayahnya, sembari bersekolah di Sekolah Rakyat Islam di Jember. Pendidikan keagamaannya berlanjut di Pondok Pesantren Tebuireng, yang saat itu diasuh oleh Hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari. Selama masa belajarnya di pesantren, KH Ahmad Shiddiq seangkatan dengan beberapa tokoh penting, seperti KH Sullam Samsun, KH Munasir Ali, dan KH Muchit Muzadi. Ia menikah pertama kali pada 23 Juni 1947 dengan Solehah, yang kemudian wafat pada 1955. Setelah itu, ia menikah lagi dengan Nyai Nihayah. Dari dua pernikahannya, ia dikaruniai 13 anak, meskipun dua di antaranya meninggal dunia. Pada tahun 1984, dalam Muktamar Ke-27 Nahdlatul Ulama (NU) yang diselenggarakan di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah, Sukorejo, Situbondo, KH Ahmad Shiddiq terpilih sebagai Rais Aam PBNU. Ia mendampingi KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang menjabat sebagai Ketua Umum PBNU, melalui penunjukan oleh KH As'ad Syamsul Arifin sebagai Ahlul Halli wal Aqdi. Sebagai pemimpin tertinggi di NU, KH Ahmad Shiddiq memiliki pengalaman yang sangat kaya. Sebelum menjadi Rais Aam, ia pernah terjun ke dunia politik sebagai anggota DPR RI hasil Pemilu 1955. Setelah itu, ia meninggalkan politik praktis pada tahun 1970 untuk lebih fokus pada dakwah dan memimpin pesantren peninggalan ayahnya di Jember. KH Ahmad Shiddiq juga aktif menuangkan gagasan-gagasannya dalam bentuk tulisan. Beberapa karyanya yang telah diterbitkan antara lain Pedoman Berpikir Nahdlatul Ulama (1969), Khittah Nahdliyyah (1979), dan Islam Pancasila dan Ukhuwah Islamiyah (1985). Selain itu, ia juga menulis sejumlah karya dalam bahasa Arab, seperti Dzikru al-Ghafilin dan Achmad Shiddiq al-Aurad fi al-Ma'had al-Islami ash-Shiddiqi. KH Ahmad Shiddiq wafat pada 23 Januari 1991 di RS Dr. Soetomo, Surabaya. Ia dimakamkan di Kompleks Pemakaman Aulia di Desa Mojo, Kediri, sesuai permintaan KH Hamim Djazuli, seorang ulama besar dari Ploso, Kediri. Setelah wafatnya, kepemimpinannya di NU dilanjutkan oleh KH Ali Yafie, yang sebelumnya menjabat Wakil Rais Aam PBNU, hingga 1992, sebelum digantikan oleh KH Ilyas Ruhiat.

Trilogi Ukhuwah dan Khittah Nahdliyah

Salah satu kontribusi terbesar KH Ahmad Shiddiq adalah gagasannya tentang Trilogi Ukhuwah. Ia merumuskan tiga konsep persaudaraan untuk memperkuat hubungan antarmanusia dalam Islam, yaitu ukhuwah islamiyah (persaudaraan umat Islam), ukhuwah wathaniyah (persaudaraan warga negara), dan ukhuwah insaniyah (persaudaraan kemanusiaan). Trilogi ini dirumuskan berdasarkan landasan Al-Qur'an, khususnya Surat Al-Hujurat ayat 13 dan Surat Al-Isra ayat 70. Namun, ide ini sempat menuai kritik. Sebagian orang menilai gagasan tersebut terlalu inklusif dan bahkan dianggap mendekati kaum non-Muslim secara berlebihan. Meski demikian, KH Ahmad Shiddiq tetap mempertahankan gagasannya dengan argumentasi keagamaan yang kuat. Hingga kini, trilogi ukhuwah menjadi bagian penting dalam membangun persatuan dan toleransi di tengah masyarakat yang beragam.
Selain trilogi ukhuwah, KH Ahmad Shiddiq juga berperan besar dalam merumuskan Khittah Nahdliyah. Baginya, khittah atau garis perjuangan NU sangat penting untuk kembali ditekankan, terutama setelah NU terlibat dalam politik praktis. Dalam pandangannya, NU didirikan oleh para ulama dengan dasar wawasan keagamaan yang sama, yang mencakup pandangan, sikap, dan perilaku keagamaan yang sejalan dengan ajaran Islam. Namun, perubahan zaman dan dinamika organisasi menuntut adanya panduan yang lebih terarah. KH Ahmad Shiddiq mengidentifikasi beberapa alasan pentingnya Khittah Nahdliyah, antara lain: (1) semakin jauhnya jarak waktu antara generasi pendiri dan generasi penerus NU; (2) semakin luasnya medan perjuangan yang harus ditangani; (3) semakin beragamnya latar belakang sosial, pendidikan, dan budaya anggota NU; serta (4) semakin berkurangnya peran ulama generasi pendiri dalam struktur kepemimpinan NU. Oleh karena itu, Khittah Nahdliyah dirumuskan untuk menjaga NU tetap berada pada jalur perjuangan keagamaan yang sesuai dengan tujuan awal pendiriannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline