Pergantian tahun 2025 kemarin menandakan bahwa usia bumi sudah semakin tua, semakin tua usia seseorang maka makin rentan untuk terkena penyakit dan makin melemah juga fungsi dari organ maupun fisik tubuhnya, hal yang sama terjadi pada bumi yang kita tinggali ini. Pasalnya tahun 2024 kemarin tercatat sebagai salah satu tahun paling meninggalkan jejak pilu dalam sejarah umat manusia. Berbagai bencana alam terjadi, dari badai dahsyat hingga gelombang panas ekstrem. Bumi seakan berteriak di tengah perubahan iklim yang semakin nyata.
Di Amerika Serikat saja, hingga 1 November 2024, tercatat 24 kejadian cuaca ekstrem. Di Filipina, Topan Tropis Trami atau Kristine merenggut 141 nyawa pada akhir Oktober, dengan curah hujan setara dua bulan dalam 24 jam yang menyebabkan banjir dan tanah longsor. Di sisi lain dunia, gelombang panas saat pelaksanaan Haji di Arab Saudi mengakibatkan lebih dari 1.300 orang meninggal karena stroke panas, menjadikannya tragedi paling mematikan selama pelaksanaan ibadah haji. Suhu di Mekah bahkan mencapai lebih dari 51 derajat Celsius.
Bencana lain datang dari Papua Nugini, di mana tanah longsor pada Mei menewaskan lebih dari 670 orang dan mengubur ribuan lainnya. Di Jepang, gempa bumi dengan kekuatan 7,6 SR pada awal tahun baru merenggut setidaknya 213 jiwa dan menghancurkan hampir 2.000 rumah. Tak jauh berbeda, hujan lebat di Nepal pada akhir September memicu banjir dan longsor yang mengakibatkan 192 korban jiwa, terutama di Lembah Kathmandu. Sementara itu, kebakaran hutan di Chili pada Februari menjadi yang paling mematikan dalam sejarah negara tersebut, menewaskan 136 orang dan melahap sebagian besar wilayah Valparaíso.
Di Indonesia sendiri berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), terdapat 2.086 kejadian bencana alam di Indonesia sepanjang 1 Januari-31 Desember 2024. Dari jumlah tersebut, banjir menjadi bencana alam paling banyak terjadi sepanjang tahun lalu dengan 1.078 kejadian. Di posisi kedua, ada bencana alam cuaca ekstrem dengan jumlah 448 kejadian. Posisinya diikuti oleh kebakaran hutan dan lahan (karhutla) dan tanah longsor dengan jumlah masing-masing sebanyak 335 kejadian dan 133 kejadian. Kekeringan dan gempa bumi berada di posisi berikutnya yang terjadi masing-masing 54 kali dan 19 kali sepanjang tahun lalu. Ada pula bencana gelombang pasang/abrasi dan erupsi gunung api yang terjadi berturut-turut sebanyak 14 kejadian dan lima kejadian.
Menurut BNPB, akibat dari seluruh bencana tersebut, sebanyak 489 orang meninggal dunia dan 58 orang hilang. Lalu, sekitar 6,36 juta orang menderita dan mengungsi serta 11.538 orang mengalami luka-luka. Selain itu, bencana tersebut juga menyebabkan 60.430 rumah rusak, terdiri atas 38.277 rusak ringan, 12.288 rusak sedang, dan 9.865 rusak berat. Lalu, 952 fasilitas juga mengalami kerusakan, terdiri atas 518 satuan pendidikan, 388 rumah ibadah, dan 46 fasilitas pelayanan kesehatan.
Bahkan tahun ini di awali dengan kebakaran hebat di Los Angeles, California, Amerika Serikat, yang memaksa ratusan ribu warga untuk mengungsi dari tempat tinggal mereka, mengahanguskan sekitar 1.000 rumah mewah dan merenggut setidaknya 24 nyawa. Dan hingga saat ini luas total yang terbakar mencapai sekitar 108 kilometer persegi, atau lebih besar dari 3 kali ukuran Kota Yogyakarta. Hingga pertengahan januari 2025, Indonesia sudah mengalami 74 kali kejadian bencana yang didominasi oleh bencana banjir. Ini seolah menjadi kisi-kisi apa yang bakal terjadi pada tahun ini, bahkan para ilmuwan pun sudah memprediksi mengenai ancaman bencana dahsyat tahun-tahun mendatang.
Krisis iklim dan kehancuran bumi seolah sudah di depan mata. Salah satunya disebabkan oleh degradasi lingkungan akibat eskalasi laju deforestasi di permukaan bumi. Berdasarkan data Global Forest Watch, sepanjang periode 2002-2022 sedikitnya 16 persen tutupan alami hutan habis dibabat. Persentase tersebut setara dengan luasan sebesar 72,5 juta hektar atau 38 kali luas negara Indonesia. Alhasil, Living Planet Index yang menunjukkan daya dukung lingkungan terhadap keberlangsungan hidup suatu spesies turun hingga 69 persen dibandingkan tahun 1970.
Penurunan kualitas lingkungan itu membuka celah penyebaran vektor penyebab penyakit berupa bakteri dan virus. Kejadian paling fenomenal di abad ke-21 adalah munculnya pandemi Covid-19 yang berdampak pada sektor kesehatan, ekonomi, dan kehidupan sosial manusia di seluruh dunia. Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperingatkan akan munculnya potensi wabah penyakit baru seiring dengan terus memburuknya lingkungan bumi.
Kita harus apa?
Melihat semakin banyaknya bencana alam yang terjadi dan semakin rentannya kerusakan lingkungan yang berdampak langsung pada kehidupan manusia maka kita tidak bisa tinggal diam. Mencegah kerusakan alam adalah tanggung jawab kita semua. Alam yang indah ini perlu kita jaga dengan baik, karena alam merupakan ciptaan Allah yang sangat agung untuk umat manusia. Melestarikan alam dan tidak semena-mena dalam memanfaatkan alam adalah perilaku yang mulia sekali. Alam perlu kita jaga bersama dan jangan sampai merusaknya. Merusak alam merupakan tidakan yang tercela karena dapat mengakibatkan dampak yang buruk di kemudian hari, tidak hanya berdampak pada kita tapi juga pada generasi penerus kita nanti. Apakah kita tega membuat cucu-cucu kita kelak tidak dapat melihat dan menikamati indahnya alam semseta ini?
Ada banyak hal yang bisa kita lakukan untuk mengatasi dan mencegah adanya kerusakan alam di sekitar kita. Hanya dengan hal kecil sekalipun jika dilakukan dengan konsisten kita akan berhasil menguraragi kerusakan lingkungan dan bencana alam yang disebabkan oleh ulah manusia. Mencegah kerusakan ekosistem laut dan darat merupakan bentuk rasa cinta kita kepada alam.
Yang pertama, Tidak Membuang Sampah Sembarangan. Dengan membuang sampah pada tempatnya, akan menciptakan lingkungan yang bersih dan rapi dipandang. Tidak hanya itu, tapi juga dengan membuang sampah pada tempatnya akan menolong kita dari bahaya bencana banjir. Jika kita sudah tidak membuang sampah sembarangan, langkah selanjutnya kita bisa memungut sampah disekitar kita lalu kita buang ke tempat yang seharusnya (tempat sampah). Usaha membersihkan lingkungan sekitar kita adalah hal terkecil yang bisa kita lakukan sebagai individu.