Saya tertarik memberikan komentar pada jurnal berjudul Terrestrial Carbon Cyce Feedback to Climate Warming: Experimental Evidance on Plant Regulation and Impacts of Biofuel Feedstok Harvest, yang ditulis oleh Yiqi Luo, pengajar pada Jurusan Botani dan mikrobiologi Universitas Oklahoma, Amerika. Utamanya terkait dengan Biofuel, yang disebutkan ramah lingkungan dan kontribusi deforestrasi terhadap pemanasan iklim, dengan pokok-pokok sebagai berikut :
BIOFUEL MENGANCAM BUMI
Seperti yang kita tahu, minyak bumi berasal dari fosil makhluk hidup yang berasal dari puluhan juta tahun yang lalu. Melalui proses kimiawi, jasad yang mengendap selama berjuta-juta tahun tersebut berubah menjadi minyak bumi. Makhluk hidup tersebut tentunya hidup dalam masa tertentu, sudah pasti jumlahnya pun tertentu. Ini berarti minyak bumi yang ada juga terbatas pada jumlah tertentu. Bagaimanapun juga minyak bumi pasti akan habis, di mana permintaan jauh lebih tinggi dari persediaan.
Pada masa itulah sebuah energi alternatif berperan. Saat bumi tak lagi memiliki minyak bumi, maka pilihan-pilihan energi lain akan menjadi solusi. Secara umum, saat ini telah terdapat beberapa kategori energi alternatif yang sedang dikembangkan dunia. Mereka adalah energi termal lautan, angin, surya, energi dari sampah, energi dari tanaman, energi dari bumi (geothermal), energi dari hidrogen, dan terakhir adalah energi nuklir.
Dari keseluruhan jenis energi alternatif tersebut, energi yang berasal dari tanaman saat ini mendapatkan prioritas utama di berbagai tempat di dunia. Energi dari tanaman inilah yang kita kenal dengan Bahan Bakar Nabati (BBN) dalam bentuk bioetanol dan biodisel ini seolah menjadi secercah harapan baru bagi dunia untuk menggantikan Bahan Bakar Minyak (BBM) yang dipastikan akan habis. Bioetanol dan biodisel telah dibuktikan mampu menggantikan bensin dan solar sebagai nyawa utama transportasi dunia yang mengkonsumsi energi paling besar.
Lantas, apakah dengan begitu permasalahan energi akan terselesaikan? Ternyata tidak. Di balik harapan cerah tersebut tersimpan potensi bencana yang serius. BBN memang bisa terus diperbaharui, tapi bahan bakunya menjadi permasalahan tersendiri bagi Bumi. Seperti kita ketahui, BBN merupakan bahan bakar yang berbahan baku tumbuhan. Minyak bio-ethanol berasal dari tumbuhan tebu, jagung, singkong, ubi dan sagu, sedangkan bio-diesel dari sisa olahan sawit, kelapa, jarak pagar, dan kapuk. Semua tanaman tersebut tentunya membutuhkan lahan yang besar untuk memproduksi bahan bakunya. Di sinilah letak masalah tersebut.
Kebutuhan etanol yang memerlukan bahan-bahan jagung, tebu, dan sejenisnya telah menyebabkan banyak lahan-lahan di seluruh dunia, seperti hutan hujan tropis dan padang rumput tempat hewan-hewan liar berkembang, dikonversi menjadi lahan untuk menanam bahan-bahan untuk keperluan ethanol tersebut. Akibatnya, terjadi pelepasan gas karbon ke udara dalam jumlah besar. Lebih kurang 20% dari gas CO2 dihasilkan dari berubahnya fungsi tanah dan hutan-hutan yang hilang menjadi perkebunan.
Di Brazil sudah banyak kebun energi dibuat dengan mengkonversi hutan alam. Tak jauh berbeda dengan Malaysia dan Indonesia yang mengkonversi hutan menjadi kebun kelapa sawit, baik untuk biodisel maupun industri minyak goreng. Kebun-kebun energi inilah yang merusak habitat hutan alam, menghancurkan seluruh kekayaan hayati hutan yang tidak ternilai harganya, dan pada akhirnya akan mengubah landscape hutan alam secara total. Belum lagi efek pestisida yang digunakan untuk memperbaiki kualitas tanaman terhadap tanah dan populasi sekitarnya.
Alih-alih mengurangi emisi karbon, pembukaan kebun energi justru memunculkan masalah baru. Dan pada dasarnya penggunaan biofuel atau BBN hanya memindahkan persoalan, dari masalah berkurangnya bahan bakar fosil ke masalah penggunaan lahan yang kurang tepat.
Di sisi lain, biofuel ternyata membawa efek kepada permasalahan pangan dunia. Beberapa penelitain menyebutkan bahwa tanaman yang berpotensi menjadi biofuel kebanyakan berasal dari tanaman pertanian. Maka krisis pangan pun bisa jadi akan terus berlangsung, karena akan terjadi perebutan komoditas untuk kepentingan produksi bahan bakar dan kepentingan pangan.
Fakta lain yang juga harus dipikirkan adalah luas lahan yang harus digunakan untuk kebun energi. Suatu saat BBM akan habis sama sekali, yang artinya akan diganti dengan BBN 100%. Semisal kita bicara Indonesia saja. Tahun 2010, konsumsi solar diperkirakan 11,8 juta kiloliter. Jika produksi Jarak Pagar adalah 1590 liter/hektar/tahun, maka akan dibutuhkan 7.421.384 hektar ladang pohon jarak (74.213 km2). Luas ini sama dengan dua kali luas wilayah Jawa Barat. Belum lagi untuk total konsumsi nasional BBM jenis premium yang diganti sepenuhnya dengan bahan bakar bio jenis bioetanol. Maka, akan lebih luas lagi wilayah di Indonesia yang harus digunakan untuk pengembangan energi terbarukan berbasiskan tanaman. Lalu apakah sebagian besar lahan di bumi ini nantinya akan menjadi kebun energi? Maka dimana kelak anak cucu kita akan membangun rumahnya?
Di sisi lain, biofuel ternyata membawa efek kepada permasalahan pangan dunia. Beberapa penelitain menyebutkan bahwa tanaman yang berpotensi menjadi biofuel kebanyakan berasal dari tanaman pertanian. Maka krisis pangan pun bisa jadi akan terus berlangsung, karena akan terjadi perebutan komoditas untuk kepentingan produksi bahan bakar dan kepentingan pangan.
Fakta lain yang juga harus dipikirkan adalah luas lahan yang harus digunakan untuk kebun energi. Suatu saat BBM akan habis sama sekali, yang artinya akan diganti dengan BBN 100%. Semisal kita bicara Indonesia saja. Tahun 2010, konsumsi solar diperkirakan 11,8 juta kiloliter. Jika produksi Jarak Pagar adalah 1590 liter/hektar/tahun, maka akan dibutuhkan 7.421.384 hektar ladang pohon jarak (74.213 km2). Luas ini sama dengan dua kali luas wilayah Jawa Barat. Belum lagi untuk total konsumsi nasional BBM jenis premium yang diganti sepenuhnya dengan bahan bakar bio jenis bioetanol. Maka, akan lebih luas lagi wilayah di Indonesia yang harus digunakan untuk pengembangan energi terbarukan berbasiskan tanaman. Lalu apakah sebagian besar lahan di bumi ini nantinya akan menjadi kebun energi? Maka dimana kelak anak cucu kita akan membangun rumahnya?
Berikutnya, mari kita lihat saja korelasinya dengan pemanasan iklim, radiasi yang dipancarkan oleh matahari, menembus lapisan atmosfer, masuk ke bumi. Radiasi matahari yang masuk ke bumi, sebagian dipantulkan kembali oleh permukaan bumi, menembus atmosfer ke angkasa. Sebagian radiasi yang dipantulkan tersebut akan diserap oleh gas-gas pemanas yang berada di lapisan atmosfer, disebut Efek Rumah Kaca.
Sesungguhnya, “efek rumah kaca” ini menguntungkan bagi bumi. Dengan adanya radiasi yang terperangkap tersebut menyebabkan suhu bumi tetap hangat. Jika tidak ada efek rumah kaca, maka suhu bumi akan menjadi 33 oC lebih dingin.
Namun sayangnya, konsentrasi gas rumah kaca yang ada di atmosfer terus meningkat. Hal ini disebabkan oleh emisi yang dihasilkan oleh berbagai macam aktivitas manusia, terutama aktivitas transportasi dan industri. Berbagai kegiatan pertanian, penghancuran hutan (deforestasi), kegiatan rumah-tangga dan pembuangan limbah melepaskan gas pemanas, yaitu karbon (zat arang) dan metan, ke udara. Akan tetapi penyumbang gas pemanas yang utama dalam seratus tahun terakhir ini adalah proses pembakaran bahan-bakar fosil termasuk minyak, gas dan batu bara untuk kendaraan angkutan, proses produksi barang secara industrial, dan pembangkitan tenaga listrik. Di Indonesia sendiri penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar dihasilkan dari kebakaran hutan dan penggundulan hutan (deforestasi).
Di lain pihak, kemampuan bumi untuk menyerap zat arang, terutama hutan, semakin terbatas, baik karena penyusutan wilayah hutan secara cepat, maupun karena dengan memanasnya suhu udara sehingga wilayah-wilayah pengikat zat arang dapat berubah menjadi wilayah sumber pelepasan zat arang dalam tempo beberapa puluh tahun saja .
Hutan, termasuk yang ada di Indonesia, dapat berperan sebagai paru-paru dunia yang menyerap karbon dioksida dan mengubahnya menjadi oksigen melalui proses fotosintesis. Namun di lain pihak, hutan juga merupakan salah satu sumber emisi GRK. Karbon yang berhasil diserap oleh hutan akan tersimpan di dalam pepohonan untuk waktu yang tidak permanen. Jika terjadi deforestrasi, kebakaran hutan, dan kerusakan hutan lainnya, maka karbon yang telah diserap sebelumnya akan dilepaskan ke atmosfer kembali. Pada tahun 1990, sektor kehutanan telah melepaskan emisi karbon ke atmosfer sebesar 42,5% dari total emisi GRK di Indonesia.
Akibat berbagai aktivitas yang menghasilkan gas-gas rumah kaca tersebut, radiasi matahari yang terperangkap di atmosfer bumi lebih banyak dari pada radiasi yang berhasil di pantulkan ke luar atmosfer bumi. Akibatnya, suhu bumi semakin panas. Meningkatnya suhu rata-rata permukaan bumi akan diikuti oleh beberapa perubahan besar, seperti meningkatnya penguapan di udara, meningkatnya suhu air laut, berubahnya tekanan udara, dan pada akhirnya merubah pola iklim dunia.
Oleh :
Muhammad Ihwan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H