Lihat ke Halaman Asli

Singa

Diperbarui: 19 Oktober 2015   17:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Ke taman seni ia datang dengan pasangannya. Duduk di barisan paling belakang. Menonton pementasan drama karya penulis besar di zamannya, Muchtar Lubis. Tak ada kesan haru apalagi romantis. Cahaya yang muncul selang sekejap, suara yang terdengar sahut menyahut tak jelas, gerak pementas ditutupi oleh orang yang berada di bagian depan.


Malam itu begitu dingin, siapa yang hendak keluar selalu mengenakan mantel dan celana panjang. Mungkin hanya ada satu atau dua pemuda yang berlaku tak demikian saat malam hari.


Dinding ruang pementasan tak sanggup menahan dinginnya musim yang sedang datang. kipas-kipas yang terpasang tak difungsikan seperti biasa. Untunglah para pementas merupakan orang yang profesional, sehingga tak terlihat rasa dingin saat mereka mementaskan karya “harimau-harimau” itu.


Seorang pementas menirukan suara harimau, iya mengaum. Beberapa penonton yang sedang bergelut dengan lamunan sesaat merasa kaget dengan adegan itu, sekarang mereka mulai masuk pada intinya ceritra. Bertarung melawan harimau, bertarung melawan nafsunya masing-masing. Anjani dan sanusi tak berubah wajahnya, juga gerak geriknya. Mereka berdua masih terpaku dengan pikiran masing-masing, tak hendak saling mendapat dan mengalihkan perhatian antara keduanya, tak hendak mencairkan suasana. Sedang drama terus berlanjut menuju puncak klimaks.


Pukul sepuluh malam drama itu selesai, orang-orang mulai berbaris menurut naluri untuk keluar dari gedung pementasan. “terimakasih”, begitulah kata seorang tua yang sudah berumur pada penonton yang hendak keluar. Ia tersenyum dengan harap agar suatu saat gedung itu kembali penuh dengan pengunjung. Anjani dan sanusi mendapat giliran senyuman. “anjani, kalau engkau ingin kembali lagi ke sini kabarkan saja”. Sahut orang tua itu. “iya om, inipun anjani sangat berterimakasih”, sahut anjani kemudian. Itulah salah satu kerabat anjani, yang memberikannya tiket hiburan gratis. Sanusipun menyapa orang tua itu dengan senyuman pula.


Halaman gedung itu mulai sepi, tapi tak begitu dengan pikiran sepasangan itu. Pikiran sanusi, “celaka, becakpun sudah tak ada yang memasang tarif standar setelah pukul 10 malam”. Ia izin pada anjani untuk ke kamar kecil sesaat. Sanusi tidak benar-benar ingin buang air kecil, ia mulai mengorek-ngorek kantung, memeriksa sisa rupiah yang ia punya. Ia berpikir sesaat. “ah, paling tidak untuk rupiah ini masih bisa aku antarkan anjani pulang”.


Melihat anjani sedang berdiri menunggu, segera ia mempercepat langkahnya. “anjani ayo segera kita pulang, malam sudah pula semakin dingin”. “iya san”, sahut anjani. Sanusi kemudian memanggil tukang becak yang sedang berada dipangkalan. Ia jalan mendekati becak itu, memberi tahu tempat tujuan, kemudian menego harga. Ia berhasil, tapi tentu hanya cukup mengantarkan anjani sampai rumahnya.


Angin berhembus pelan, dingin sampai terasa ke tulang. Anjani menarik mantelnya, dan memasukkan telapak tangannya kedalam mantel yang kedodoran itu. Sanusipun demikian, ia juga sekaligus melipatkan tangan ke dadanya, berlaku bagai orang yang sedang shalat. Kiri dan kanan jalan yang berlalu terlihat sepi. Sesekali hanya ada pedagang yang sibuk membereskan daganganya, sedang mereka bertiga hanya terdiam, bermain dengan pikiran masing-masing. Sanusi dan anjani yang duduk berdekatanpun tak punya kalimat tanya, tak punya kalimat yang mengajak berbicara.


Tidak seperti biasa mereka berdua malam itu. Setelah bertemu dan dipertemukan hampir lima tahun yang lalu, barulah sekali ini mereka merasa canggung. Bahkan saat itu mereka pandai menerka-nerka sebab kelap-kelipnya bintang yang sedang dilihatnya. Sanusipun mengira bahwa bulan yang dilihatnya malam itu bagaikan seorang perempuan yang duduk malu. Lampu-lampu jalanan yang biasa mereka lihat diwaktu lalu, menjadi kesibukan pikiran. “kenapa aku malam ini”, sahut sanusi dalam-dalam. Sambil ia melirik ke arah anjani sebentar waktu.


Ia ingat lagi dua hari yang lalu. Selepas ia pulang dari pekerjaanya sebagai mandor di sebuah pabrik di Tangerang, hatinya terasa menggebu, segera mungkin sanusi ingin bertemu dengan anjani. Hampir saja terlupa dengan absen yang harus ia isi tiap sorenya. Sanusi mengatur janji dengan anjani untuk bertemu di taman tempat mereka pertama kali saling mengaitkan pandangan.


Mereka tepat bertemu pukul 17.30 sore itu, nafas sanusi tak teratur sampai ia bertemu anjani. “san”, anjani menyapa dengan suara khasnya, pelan dan lembut bagi hasan. Sebentar sanusi mengusap keringatnya dengan tangannya yang masih berdebu. Itulah waktu anjani memberikan sapu tangan yang ia buat sendiri pada sanusi. “anjani, aku ingin melamarmu, tapi inilah aku, belum genap enam bulan aku menjadi mandor, belum ada pula rumah yang bisa aku sediakan. aku tak ingin hubungan kita sia-sia karna tak tahu takdir ke depannya nanti”. Sampai dikalimat itu keduanya terdiam, sama-sama menahan kalimat yang belum terkumpul rapih.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline