Lihat ke Halaman Asli

Menuju Kemerdekaan Individu (Final)

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Patut kita banggakan dari negeri ini, kenyataan bahwa kebebasan berpendapat dan pendidikan sudah mulai menampakkan kemajuan. Ini juga yang menjadi sebagian besar agenda pemerintahan, agenda propaganda, ataupun agenda-agenda kampanye dalam pemilihan wakil rakyat dan pemimpin di Negara ini. Memang itulah salah satu yang menjadi harapan setelah kemerdekaan. Salah contoh yang bisa dilihat adalah pesatnya pertumbuhan lembaga pendidikan yang diprakarsai oleh Muhammadiyah. Seblum Negara ini merdeka, sekolah yang didirikan oleh Muhammadiyah masih bisa dihitung dengan jari, sedang saat ini sudah hampir ada diseluruh propinsi yang ada di Indonesia dengan berbagai macam tingkatan, mulai dari pendidikan dini sampai pada tingkat universitas.

Hal itu kemudian sejalan dengan munculnya berbagai lulusan berkualitas, professor, ilmuan dan sebagainya—yang paling menyedot perhatian adalah kemashuran BJ. Habibie dengan lebih dari 40 hak paten. Pebisnis-pebisnis pribumi juga bermunculan dan saat ini memainkan peran sentralnya dalam industry di Indonesia. Sehingga sangat buruklah kita ketika lupa dengan momentum kemerdekaan bangsa Indonesia, bahkan hampir tidak bisa kita temukan aspek hidup yang tidak berubah setelah kemerdekaan.

Sebagaimana analogi yang saya tuliskan dengan sedikit anomalinya, hal tersebut akan berpengaruh cukup besar ketika dikaitkan dengan kemerdekaan, terlebih lagi dengan bumbu kemerdekaan individu. Dapat dikatakan bahwa saat inipun kita sedang menjalani pembinaan kemerdekaan, sekolah, universitas, program kerja, kemunculan organisasi kemasyarakatan, bahkan dengan adanya rukun tetangga (RT) kita sesungguhnya dalam bingkai pembinaan itu sendiri. Seminar-seminar tentang kepemimpinan, bisnis, manajemen dan sebagainya merupakan sebagian dari program teknisnya. Hal itu mungkin terdengar dan kita anggap biasa saja—tapi sungguh berdampak besar pada munculnya kualitas manusia Indonesia yang lebih bernilai, lebih berkualitas. Inilah salah satu pikiran yang harus segera dibuang jauh, sebelum kita masuk pada gerbang kemerdekaanyang sesungguhnya.

Memang pada kenyataanya pembinaan itu sudah dan sedang dilaksanakan—dan tentunya kita juga tidak boleh lupa dengan hasil yang telah mulai terliahat saat ini. Apakah pembinaan kemerdekaan hanya muncul dengan lembaga-lembaga formal dan non-formal, atau juga apakah yang membentuk rasa kemerdekaan itu hanya muncul lewat cara dan program teknis yang dilakukan. Itulah yang harus mulai kita tanyakan pada pribadi masing-masing sekaligus melihat kenyataan yang beredar di sekeliling kita.

Ternyata dewasa ini kita lebih banyak mengeluh tentang hal-hal yang telah ada, mulai dari masalah pendidikan itu sendiri, masalah ekonomi, masalah politik, masalah sosial, budaya, hokum dan lain-lain. Hal ini tentu sangat paradoks dibanding dengan lahirnya sarjana, doctor, professor, ilmuan, tokoh-tokoh agama yang sudah mulai menjamur. Sekarangpun saya, atau kita semua yang ada di republik ini tidak meragukan lagi kecerdasan atau kepintaran orang asli Indonesia—bahkan hal itu sudah ditunjukkan oleh kenyataan bahwa, orang-orang Indonesiapun sudah banyak menjadi bos-bos di Negara lain. Belum lagi saat sekarang banyak prestasi internasional yang ditorehkan oleh anak-anak Indonesia, mungkin itu yang kita sebut kualitas manusia. Sungguh luar biasa. Kita sudah punya potensi Sumber Daya Alam sekaligus Sumber Daya Manusia.

Kualitas manusia bukanlah kemerdekaan sesungguhnya, manusia juga harus memiliki nilai, hal ini paling gampang kita lihat dan paling sukar untuk dilakukan. Kesimpulan kecil yang bisa kita ambil tentang pembinaan kemerdekaan ini, belum sampai pada inti pembinaan itu sendiri. Kalau kita sesekali membaca dan mencoba paham dengan sejarah, maka pembinaan yang paling baik adalah tentang keteladanan. Selanjutnya akan disusul dengan program-program teknis. Tentu saja ini akan berhubungan dengan kepemimpinan. Ini seperti gelas emas yang tidak punya isi.

Kemudian saya akana mengumpakan seperti hal ini, ketika seorang guru, ayah, atau pejabat mengajarkan ilmu matematika, fisika, biologi, teknologi informasi dan ilmu-ilmu yang lain, sedang seorang guru, ayah, atau pejabat tersebut melakukan praktek pencurian, korupsi, penindasan dan lain-lain. Bukankah itu sama saja kita mempersiapkan generasi pencuri, generasi korupsi, generasi yang akan menindas yang akan lebih pintar dari seorang pengajarnya sendiri. Ini bukan omong kosong belaka. Inilah yang dilakukan oleh orang-orang pintar dan cerdas di bumi Indonesia. Dan akan begitu seterusnya kalau pembinaan ini tidak didasarkan atas teladan atau isi.

Karena saat ini pembinaan kemerdekaan itu jarang sekali yang menyentuh isi/keteladanan, mental kita adalah mental penindas, terpengaruh dengan gaya-gaya kapitalis, kolonial, gelisah ketika tidak memegang duit dan senang melihat orang hormat pada kita. Kita lebih suka melihat orang yang kurang kecerdasanya tunduk dengan sungkemnya, senang memerintah, memandang rendah bangsa sendiri, dan seenaknya menunda atau bahkan tak memberi hak orang lain. Bukankah ini yang dilakukan oleh penjajah sejak zaman dulu. Semakin membuat pilu adalah merambatnya hal ini di dunia pendidikan yang menjadi basic pembinaan kemerdekaan itu sendiri. Money menjadi syarat baru untuk pendidikan yang baik dan berkualitas, padahal itu merupakan hak yang dimiliki oleh setiap manusia. Hal tersebut menekan kita untuk melakukan perubahan secara struktur dan kulturlah karena semakin dibiarkan, menjadi suatu keniscayaan Negara ini akan kembali dijajah dalam arti sesungguhnya—ini adalah tugas individu-individu yang sudah lebih dahulu merdeka.

Merdeka Itu Pilihan

Masuk pada bagian akhir dari tulisan ini, saya akan mengawali dengan ungkapan untuk seorang pemimpin, entah pemimpin apapun itu “manakala ada pemimpin yang memiliki kemerdekaan individu, rasa malunya akan bertambah berjuta-juta kali lipat pada tuhannya”. Ini adalah konsekuensi fardhu yang akan dirasakan. Dari sini akan lebih terbukalah tentang apa maksud dari kemerdekaan individu.

Di sub bab yang sudah saya tuliskan di atas ada dua hal yang akan menjadikan seseorang mendapat kemerdekaan yang paling tinggi (baca:kemerdekaan individu). Yang pertama adalah kesadaran akan kemerdekaan bangsa yang sudah menjadi pintu terbukanya kemerdekaan individu itu sendiri, dan yang kedua adalah pembinaan kemerdekaan yang paling memiliki esensi, yaitu tentang ketauladanan.

Sebagaimana kemerdekaan bangsa yang dahulunya dipilih oleh founding father negeri ini, begitupulalah yang harus kita lakukan untuk memilih kedua hal di atas—cara untuk mengisi kemerdekaan yang selama ini dielu-elukan. Lebih dari pada kedua hal itu, ada satu hal yang wajib dimiliki. Sesuai dengan paragraf pertama dalam sub bab ini, kita harus tahu dan mengenal bahwa keberadaan dunia, manusia, materi dan apapapun yang ada dalam dunia ini adalah suatu barang yang binasa, tak kekal, jika tiba pada waktunya akan hancur lebur dan kembali pada asalnya yang satu—yang Esa. Ada Zat yang mengatur seluruh yang ada di bumi, bahkan di setiap partikel terkecil yang ada dalam tubuh manusia. Suatu dasar yang akan menggerakkan seseorang menjadi individu-individu merdeka.

Penghambaan yang terwujud dalam berbagai macam bentuk ide-ide, sosok, sistem, cara, pengetahuan adalah hal-hal yang selalu muncul dalam sejarah manusia. Inilah yang membuat Negara ini terjajah, ini juga yang membuat diri kita menjadi kacung-kacung ekonomi dan materi. Dewasa ini kita melupakan hal yang menjadi pertanyaan-pertanyaan dasar kemunculan manusia dalam alam ini sendiri, apakah itu siapa, dimana, bagaimana, dan juga tujuan, atau seperti yang popular saat ini tentang a knowledge of ESQ.

Hal ini jugalah yang luput dari pilihan-pilihan kita pada dunia yang terlanjur berorientasi pada materi. Pilihan yang muncul sejak manusia itu lahir di dunia dan seharusnya dipilih sebelum optional yang muncul. Tentu saja pada saat masyarakat inipun terjajah, hal tersebut tetap menjadi pilihan logis diantara jargon serta ekspansi Gold, Glory, Gospel. Kemerdekaan bangsa membuka peluang lebih besar untuk melakukan penghambaan pada yang Esa semakin baik. Tak ada lagi tekanan atau juga tak ada lagi ancaman seperti ceritra-ceritra sejarah pada masa lampau. Dalam agama Islam, penghambaan kepada yang Esa (Allah SWT) selalu diawali dengan suatu keyakinan dan kepercayaan, pernyataan kesadaran bahwa tak ada yang kekal, berkuasa, memiliki kekayaan sempurna, dan sebagainya selain Allah SWT. Tidak ada yang meragukan hal ini, dan tidak ada pula bisa memberikan janji dan harapan yang lebih baik dari sang Maha Esa, Maha Kekal.

Berangkat dari keyakinan dan kepercayaan inilah seseorang bisa mencapai tingkat yang lebih tinggi dari manusia yang lain. Kalau selama ini kita sangat percaya pada materi, maka akan hancur luluhlah kita ketika materi tersebut hilang, begitu juga dengan kepercayaan pada sosok, ide dan lain-lain akan hilang sesuai zaman dan kejayaanya. Kita sesegara mungkin akan terstagnasi pada kehilangan tersebut. Bagaimana dengan kemerdekaan bangsa yang kita peroleh? Hal itupun sama. Seorang individu yang memiliki kemerdekaan adalah orang yang tak pernah padam berusaha, tak pernah berhenti yakin dan percaya pada usaha-usahanya sampai tiba pada kematian. Sepuluh kehilangan atau kegagalan akan ditambal dengan seribu kehidupan. Ini yang disebut dengan piramida hidup, penghambaan kepada yang Esa dan Kekal untuk memberi manfaat pada yang banyak—masyarakat, lingkungan dan makhluk lain.

Sesungguhnya kemerdekaan bangsa yang didapatkan bukan hanya berfungsi untuk menjadikan masyarakat bangsa itu menjadi merdeka, lebih dari itu, kemerdekaan bangsa ini diwujudkan untuk memerdekakan masyarakat bangsa lain yang masih dalam tahanan materi dan konsep-konsep sementara buatan manusia, sedang hal tersebut yang masih kita rasakan saat ini. Hal serupa yang kita temukan pada pembukaan UUD 1945 pada alinea ke-empat tentang perdamaian dunia. Tentu dengan demikian, kemerdekaan individu bukanlah seperti kemerdekaan picik yang masih menjadikan dan membiarkan masyarakat menjadi babu dan orang yang tak berharga di negara sendiri dan di Negara lain.

Sudah saatnya kita kembali menterjemahkan kembali kemerdekaan, suatu kerangka acuan pembinaan masyarakat yang memiliki kesadaran. Melakukan rekonstruksi pada bentuk acak teori-teori yang lahir. Menjadikan penghambaan pada yang Kekal, untuk menuju kejayaan dan ekonomi yang baik (Gospel, Glory, Gold). Ini tidak mudah, tapi justru jalan yang sedang dilakoni oleh sebagian besar masyarakat bangsa ini adalah jalur yang kontra dengan cita-cita bangsa dan nurani individu masing-masing.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline