Lihat ke Halaman Asli

Si Imah

Diperbarui: 24 Juni 2015   18:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

imah, imah ibumu ini selalu tetap jadi ibumu, kemana engkau pergi, apa yang kau perbuat, apa juga maumu selalu ibu berikan—tapi tolong sekali ini imah, turuti ibumu ini, ibu tak punya siapa-siapa lagi di dunia ini kecuali engkau imah, ibu tak punya sandaran lagi kecuali kau imah. Imah, imah malangnya nasibmu nak, kau sudah melanglang buana di alam ini, kau sudah jadi liar, kau sudah punya segala-gala yang duniawi, kapital, rumah, kesengan, bahkan buah-buah dengan berbagai macam sudah kau nikmati setiap pagi. Imah, imah kembalilah pada ibu nak, kembalilah jadi anak ibu.

Ratapan selalu datang terlambat setelah semua perbuatan manusia ini terjadi, seperti teori-teori yang muncul setelah ada bukti.

Ia duduk di sebuah kamar, kamar yang sangat sangat ia kenal sekarang, sekitar 5 tahun belakangan ini. Kamar ini jadi tempatnya hidup sekaligus tempatnya kerja. Pagi sampai siang ia selalu duduk merenung setelah membersihkan diri dari hiruk pikuk pekerjaannya, ia selalu memikirkan impian-impiannya dulu waktu dia masih besekolah—baik ia di zaman ini, zaman yang sudah modern dan serba emansipasi, ia sudah dapt menikmati pendidikan sembilan tahun sampai ke perguruan tinggi, tidak seperti nenek moyangnya dulu, buyut-buyutnya yang tidak pernah diajarkan alfabet waktu hidup di indo.

Impian-impiannya yang ingin membangun keluarga, punya anak-anak yang bermain di taman tengah kota, jalan-jalan pagi di depan balai kota surabaya, mengantarkan anak-anaknya ke sekolah sekaligus menjemputnya, dan punya suami yang bertanggung jawab, semua hanya jadi impian yang tak pernah datang. Berbeda dengan yang didapatkan sekarang. Hampir saja ia mendapat itu semua sampai suatu saat laki-laki yang jadi harapannya itu menjadikannya tak bermartabat, tak punya moral sedikitpun. Bkas yang tersisa pada wanita selama hidup, selama itupun tak dapat di bersihkan sampai masuklah di alamnya sang penguasa bumi dan langit. Disana akan dibersihkan sampai ke sum-sum tulang, sampai tak ada noda sekecil sel makhluk hidup. Tapi bekas yang ada pada laki-laki, akan jadi kebanggaan bagi laki-laki, akan jadi bukti keperkasaan dan bukti kekuasaanya. Menjajah manusia yang lainnya, menjajah sebangsanya. Bekas tak akan dilihat.

Tiga tahun yang lalu ia masih seperti di surga, surga dunia, waktu ai masih menempuh pendidikan di perguruan tinggi, tapi semua yang diinginkan sudah didapatkan, mobil, rumah, duit, baju dan semuanya, semua aksesoris dunia itu ia dapatkan, semua bertambah dan hanya satu yang hilang—tutur kata ibunya, ocehan ibunya kalau ia tak pulang ke rumahnya. Selama beberapa bulan ia menikmati dan dinikmati, selama beberapa bulanpun ia tak pernah lagi pulang untuk tau keadaan rumah ibunya, ya rumah ibunya! Selama itu pula sampai dengan sekarang ia tak pernah tau lagi kabar tentang ibunya, sampai suatu saat ia dapat berita kalau ibunya sudah tak ada lagi di rumahnya, sudah kembali ke rumahnya yang abadi—dalam tanah.

Pikiran itu saja yang memenuhi otaknya setiap pagi, ingat akan indahnya punya duit, mobil dan rumah yang begitu mewah dan punya baju bak artis-artis ibukota yang sering gonta ganti pakaian. Serta ingat lagi ocehan ibunya yang tak pernah ia dengarkan setelah dapat aksesoris dunia itu.

Tidak buruk ia lima tahun yang lalu, termasuk anak yang tau tata krama, tau sopan santun, hanya ia sering gonta ganti laki, seperti baju yang dikenakannya. Ibunyapun tak ambil pusing dan tetap saja menganggapnya itu sebagai hal biasa, biasa anak muda zaman sekarang, tapi tak biasa buat orang-orang zaman dulu, zaman buyutnya.

Ia pun banyak meraih prestasi, rangking wahid di sekolahnya waktu ia SMA, ia jadi buah bibir masyarakatnya karena kesehariannya yang terlihat baik. Sempurna, sungguh sempurna hidupnya dulu. Zaman yang merubah si Imah, zaman pula yang membuatnya lari dari hidup yang begitu-begitu saja.

Semua mulai di rekanya dari awal, ingatan-ingatan dari awal, dari ia masih bau kencur sampai bau parfumnya malaikat seperti sekarang. Kenapa aku tak dengar kata ibuku dulu, sial, sialnya nasibku ini. Terus dia meratapi hidupnya yang tak tahu lagi arah dan impiannya. “semuanya sudah aku musnahkan sendiri”.

Ia masih duduk sendiri di pagi ini, dikamarnya, tapi bukan miliknya sepenuhnya. Ia lupakan sejanak pikiran-pikiran yang sudah ia bangun sejak beranjak dari tempat tidurnya. Belum lagi dia gosok gigi dan mandi. Sebentar itu masuklah laki-laki yang tak asing lagi baginya, laki-laki yang menyelamatkannya dari jalan. Sebelumnya, terkatung-katung ia di jalan, di buang oleh pemilik mimpinya, yang seharusnya mendampinginya menjadi ratu untuk mimpi yang ia dambakan. Laki-laki itu menyelamatkannya dari jeratan seseorang, yang menjeratnya ke banyak tangan.

“imah, mandilah kau, ini sudah hampir jam 10 pagi, tak bolehlah aku liat ratu malamku ini masih belum ayu dan cantik seperti semalam, mandilah kau imah”. Sambil mengelus-elus rambut imah. “iya pras, sebentar ini akupun ingin membersihkan badanku, tapi kau tiba-tiba masuk, jadi ku tanggapi dulu kedatanganmu”. “ah kau imah, mandilah kau sekarang, seperti tidak tau aku saja”, iya mengatakan itu sambil memukuli bokong imah yang segera beranjak mandi. Imah hanya tersenyum.

***

Awalnya ia masuk kamar itu sekitar setahun yang lalu. Laki-laki yang jadi impiannya itu meninggalkannya karena tak puas lagi dengan imah, bukan karena imah kurang cantik dan kurang bohai, tapi karena seluruh tubuh imah sudah digerogotinya sudah dijamahnya tubuh imah dari ujung rambut sampai ujung kaki, semua sudah jadi milik laki-laki itu sebelum ikatan duniawi pernikahan mendahuluinya. Pendidikan perguruan tinggipun tak sempat ditamatinya karena sudah ia dapatkan semua-semuanya pada waktu itu.

“imah hubungan kita cukup sampe disini, kita sudah impas, selama ini kau sudah nikmati kekayaan dan fasilitasku, selama itu pula aku sudah dapatkan nafsuku”. Imah menampar laki-laki itu. “apa? Kau cuman mau tubuhku ini, kau cuman mau kehangatan tubuhku ini? Bajingan kau samsul, bajingan, kau harus tanggung jawab, kau harus tanggung jawab!”. “imah, imah, bukankah punyaku ini sudah jadi milikmu semua, rumah ini, mobil ini sudah jadi milikmu semuakan? Tapi tidak untuk sekarang sampe seterusnya imah, aku mau hidup baik, aku mau hidup punya tujuan, dan kau imah, kau bukan salah satu hidup yang baik itu, kau hanya nafsu imah”. Imah hanya menangis mendengar semua yang dikatakan samsul. “keluarlah kau sekarang dari mobil ini imah, aku sudah siapkan tempat hidupmu selama satu bulan, di depan hotel ini”. “samsul kau bajingan, tak boleh kau perbuat itu padaku samsul, bajingan kau samsul”. “keluar kau imah, kalau tidak.....”. “kalau tidak apa samsul....”. dengan gerang samsul memaksanya keluar dari mobilnya, hanya meninggalkan duit untuk hidup sebulan, sebulan untuk membayar penginapan.

Malam itu imah menangis sekuat-kuatnya dan menjerit, tapi jeritan itu tak bisa membawanya kembali pada mobil samsul yang sudah tancap gas jauh dari tempat itu. Tak ada seorangpun yang mengiba melihat hal itu, itu jam satu dini hari. Imah masih saja menangis menjerit. Tak ada yang melewati tempat itu, sepi seperti malam mendung tanpa bintang satupun.

Berpikir ingin balik ke rumah ibunya, imah tau kalau ibunya itu sudah tak ada, rumah ibunya itupun tak tau nasibnya apa. Ia menimbang-nimbang lagi untuk pulang, apa kata orang-orang tetangganya, setelah ibunya meninggal baru mau pulang, anak durhaka!

Semakin besarlah pilu yang ada pada imah, ia semakin menangis, tapi suaranya dan airmatanya itu tak lagi keluar, karena sudah kering dari sumbernya. Iya duduk di bawah pohon, tak punya pikiran, semua yang dilihatnya gelap dan kosong.

Pukul sudah menunjukkan jam 4 dini hari, pras baru saja pulang dari kebiasaannya menjual barang hidup, barang kenikmatan dunia, tubuh perempuan. Malam itu ia kurang beruntung karena penawaran padanya berkurang, barangnya sudah basi dan turun nilainya. Di jalan itu, jalan di kampung dukuh ia melihat imah yang sedang duduk menunduk di bawah pohon. Didekatinya imah. “hai, kenapa kau duduk sendirian di bawah pohon ini, ini sudah pagi”. Ia memagang bahu imah. Imah terkejut dan menatap pras beberapa saat. “siapa kau, mau apa kau?”. Imah sudah tak tau mana samsul dan mana orang lain, di bayangannya seluruh laki-lai yang ditemuinya seperti samsul.

“tenanglah, tenanglah, aku hanya lewat sebentar disini, dan aku lihat kau sendirian, mungkin aku bisa bantu kau barang aku bisa”. “tidak, tidak perlu bantuanmu, aku muak melihat laki-laki, aku muak melihat dunia ini”. Imah menuding. “oke baik, tapi ini sudah pagi, mungkin kau butuh tempat istrahat, dari pada kau dikira yang tidak-tidak sama warga kampung sini”. “tidak, tidak perlu kau baik hati padaku, semua laki-laki itu sama saja, kau sama dengan bangsamu, hanya cari hangat tubuh perempuan, pergi kau dari sini, sialan!”. “baik, baik, aku akan pergi, tapi kalau kau butuh bantuan untuk tempat tinggalmu, kau bisa hubungi aku di nomor ini”. Praspun pergi meninggalkan imah.

Imah masih saja menangis, tanpa air mata, tanpa suara, kepedihannya sudah tak bisa terukur karena tak tau dasarnya. Selama tiga hari ia hanya hidup di jalan, seperti angin, tak ada lagi pikiran dan impian, ia hanya ikut gerakan kaki, kemudian bergerak semualah badanya. Sampe suatu sore ia bertemu lagi dengan pras. “kau, hai kau, mau kemana kau ini, kau tidak menghubungiku, aku kira kau sudah punya tuan, atau mungkin engkau sudah mati—ternyata kau masih dijalan”. Imah hanya diam. “ayo mari ikutlah saja denganku, mungkin kau akan cocok bekerja di tempatku, timbang kau jalan seperti ini, kau tak ada tujuan”.

Imah sudah mati, walau badannya masih berisi, tapi ia tak ada jiwa tak ada keinginan lagi. Ia hanya mengangguk ketika ditawarkan pras. “baiklah, sekarang naiklah kau ke sepedaku ini, aku akan kasih kau tempat yang lebih layak, hidup yang lebih layak”. Imah masih mati, masih belum sadar kalau ia akan jadi piaraan laki-laki, ia tak sadar.

Sampe imah di rumah pras, ternyata temat itu sudah banyak kawan-kawanya, setidaknya mereka dari bangsa yang sama, dari bangsanya hawa. Ada yang masih berumur belasan tahun, ada juga yang sudah mulai terlihat keriput wajah dan kulit-kulitnya. Kalau imah sendiri, walau wajahnya penuh debu dan rambutnya kotor, tapi gairah dalam tubuhnya itu masih ada, bisa dilihat dari buah dada dan bokongnya yang masih kencang dan bulat. Kadang-kadang pras tersenyum melihat paras imah yang sangat matang, “ini bunga yang sedang mekar” kata pras dalam hatinya. Ia tetap saja memperhatikan dada imah yang bulat itu waktu imah berdiri monoleh ke arah rumah yang akan jadi tempat tinggalnya itu. “sudah, masuklah, kau akan tinggal disini, disini banyak juga kawan-kawanmu, banyak juga yang akan kau ajak bicara, kau akan jadi manusia disini, bukan di jalan seperti binatang”. “kau akan bahagia disini”. Imah masih saja mengangguk perlahan, tanda ia setuju, tapi tak sadar.

“kau punya kamar di lantai 2 imah, naiklah ke atas, nanti aku akan menyusul, kau mandilah dahulu”. Imah beranjak ke atas, dan banyak ditemuinya, sebangsanya, bangsa hawa. “ah si pras, bisa saja dapat cewek semontok ini, badanya masih kencang, masih bohai”, “iya, pras memang punya pelet”. Kata perempuan-perempuan yang melihat imah sambil tertawa.

“kalau di tempat ini kau akan punya saudara, punya adek, punya kakak, dan tentu saja kau bisa mengandalkanku”. “terimakasih pras”, suara imah. Sudah ia bersihkan diri dan sudah ia berparfum. “nah sekarang kau istrahatlah dulu, kalau kau makan ada di lantai bawah, kau bisa ambil sesukamu, tapi jangan kau minta yang aneh-aneh, jatahmu adalah yang ada di rumah ini”. “iya terimakasih pras, kau baik padaku”. Pras hanya tersenyum melihat imah. Imah belum sadar kalau ia hanya berpindah tangan, berpindah ke tangan laki-laki yang lebih banyak, badanya yang kencang itu akan semakin banyak tersentuh tangan-tangan laki-laki, kemaluanya akan sering di......oleh banyak laki, tapi imah tak sadar, imah masih trauma dengan samsul masih trauma dengan dunianya.

Di dunia ini tak ada yang lebih indah selain kenikmatan duniawi, dan kenikmatan yang paling nikmat di dunia itu hanya bersetubuh, hanya melakukan seks. Itu sebab banyak yang menyewa, menyediakan dan bahkan memberikannya gratis. Cinta dijadikan pintu untuk dapat kenikmatan itu, kekayaan dijadikan modal untuk beli kenikmatan itu, dan laki-laki biadab yang memanfaatkan kelemahan perempuan-perempuan itu tidak lebih baik dari pekerja seks yang cari kehidupan.

Imah tidak tau kalau malamnya itu akan jadi malam yang akan memusnahkan dirinya, ia akan jatuh serendah-rendahnya bersama laki-laki yang akan jadi langganannya nanti.

Malam itu imah masih termenung dalam kamar, ia tak makan walau tadi sudah di tawarkan makan oleh pras. Ia hanya duduk di pinggir kasurnya. Itu pukul 10 malam, tiba-tiba ada yang mengetok pintu kamar imah. “imah, imah, imah bukakan pintu imah”. Iya tau itu suara pras. Seketika ia membuka pintu itu. “imah, dengar aku, kau malam ini ada tamu, tolong berikan apa yang dia mau, layani ia imah, dia ini tamu spesial”. “tamu apa maksudmu pras?”. “ah kau ini pura-pura saja tidak tau, ini tamu spesial imah, nanti berikan dan turuti saja semua yang ia mau ya”, kata pras sambil tersenyum. Tiba-tiba imah melonjak. “kau kira aku ini perempuan apa pras, aku ini masih mau hidup, aku masih mau jadi baik-baik, jangan mentang-mentang.......”. belum selesai imah berbicara, pras langsung menjambak rambut imah, “kau ini, sudah aku tolong kau di jalan, kau sebelumnya hanya jadi binatang, sekarang aku angkat hidupmu, kau malah melonjak, tak tau terimakasih kau padaku, sudah turuti saja kataku, tidak ada perempuan baik-baik dijalannan sendirian sampe tengah malam, kecuali ia gila. Kau itu sudah tak punya hidup kalau aku tak tolong”, pras melepas rambut imah. “tapi aku,,,,,”. “apa? Kau ingin keluar dari sini? Sana keluarlah sekarang, kau bakal jadi gelandangan di luar sana, kau sudah tak punya apa-apa”. “pras tolonglah pras, tolong jangan seperti ini”, imah sambil menangis, “tolonglah pras, jangan jadikan aku seperti ini pras”. “mau jadi apa lagi kau kalo tak ada duit, kau punya duit? Tidak kan, hidup ini buth duit imah, aku tak mungkin hidup tanpa kerja, semua juga begitu, kaupun harus begitu, ini dunianya duit imah”. Mendengar kata-kata pras, imah sadar, kalau ia sudah tak punya apa-apa, ibu, keluarga, kehormatan, dan semuanya, yang tersisa hanya badan yang bisa ia jual, ia jadikan alat pemuas nafsu laki-laki. “ia aku sadar” katanya. “ “nah gitu kau lebih baik, tunggulah banrang sebentar, kau akan mendapatkan itu semua, duit banyak, dan kau bisa beli apa saja, tunggulah tamu spesial ini”.

Pras beranjak keluar dari kamar imah. “oh iya imah, jangan lupa kau sedikit berdandan, pakailah dulu sisa gincu dan bedakmu itu, besok-besok aku belikan kau yang baru, yang lebih baik”. Imah hanya mengangguk ketika pras keluar dari kamarnya.

Imah kau itu sudah hilang segala-galanya, buat apa kau menolak lagi bayaran untuk hidupmu ini, hanya tubuh molekmu itu yang kau punya, hanya badanmu itu yang jadi sumber hidupmu sekarang, terimalah itu imah, terima! Kata yang tak tau arahnya dari mana.

Imah sekarang sadar dengan semuanya, sadar dengan segala kehidupannya sekarang, malam itu ia merasakan nikmat sekaligus kesakitan yang sedang menggerogoti seluruh badan sekaligus hatinya. Ia menyenangkan orang tapi tak pernah ia hidupkan hatinya. Ini hanya hidup badan saja.

Bagaimana mungkin orang hidup tanpa duit, yang sudah kaya dan mapan sekaligus masih buth duit untuk hidup, apalagi yang sudah kehilangan segala-galanya. Ini itu hidupnya duit, bukan hidupnya manusia, semua tergantung kapital, semua tergantung kertas-kertas biru dan merah itu.

Sebentar ia sadar kalau gadis-gadis yang berumur belasan tahun itu sudah mulai mengenal hidup seperti ini sebelum imah mengenalnya, perempuan lain yang sudah terlihat kerutan di wajahnya itupun seperti itu. Yang gadis itu bahkan jadi perempuan panggilan untuk kelas atas, kelasnya yang masih sedikit perawan jadi bayaran lebih banyak. Sedang yang wajah sudah keriput jadi terpampang di etalase, dipegang buah dadanya di pegang bokong oleh semua tangan nafsu yang datang berkunjung. Dan imah, ia tetap spesial, karena melayani orang-orang spesial pula. Pejabat negara, swasta, sampe pedagang kaya raya. Begitulah selanjutnya kerja imah. Ini hidup!

***

Keluar ia dari kamar mandi pagi itu, di tempat tidurnya sudah menunggu pelanggan spesialnya, kali ini ia kerja siang, tak tau apa pejabat itu sedang dapat duit hasil korupsi atau sedang bertengkar dengan istri di rumahnya ia datang awal, datang siang. Imah tersenyum. Ia rasakan lagi kenikmatan dan kesakitan itu, ia rasakan lagi nikmat dan kesakitan itu. Ia rasakan lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline