[caption id="attachment_109423" align="alignleft" width="300" caption="kapal-kapal di pelabuhan Paotere makassar (dok:lemsa)"][/caption]
Sebut saja namanya Abdullah (72). Saat bertemu dengannya 3 tahun silam, ia adalah kepala dusun di salah satu dusun di pulau Kalaotoa, kabupaten Selayar. Saya berada disana pada masa itu untuk melaksanakan sebuah kegiatan penelitian.
Ia menyebut sudah dua kali ditangkap dan dideportasi oleh pemerintah Australia karena kedapatan memasuki wilayah perairan Australia secara ilegal dan akibatnya mereka sempat menginap beberapa waktu di penjara Australia.
Tentang penjara itu, ia agak ragu menyebutnya sebagai penjara karena ia mengingat gedung penjara itu lebih mirip hotel. Kerja hanya makan tidur dengan fasilitas yang bagus. "Lebih empuk kasurnya dibandingkan kasur di rumah”, katanya. Tak cuma itu. Mereka bahkan dibekali dengan uang saku dan tiket pesawat ketika akan pulang. Serupa tapi tak sama dengan kehebohan Artalita Suryani beberapa waktu lalu di LP Cipinang. Anda pasti masih ingat dan bisa membedakannya kan? Hehehe..
[caption id="attachment_113681" align="alignleft" width="300" caption="teripang itu (muhammad idhan.2010)"][/caption]
Pak Abdullah dalam cerita diatas adalah seorang pria yang lahir dan besar di sebuah pulau di kabupaten Selayar. Sulawesi Selatan. Masa kecilnya dihabiskan di pulau. Hal itulah yang menempanya menjadi pelaut. Tiba dimasa mudanya ia bersama teman-teman sekampungnya kemudian mengarungi lautan untuk menangkap teripang. Kala itu dan hingga sekarang, teripang merupakan primadona dan komoditas yang mahal harganya. Saat ini harga teripang sekitar Rp. 800.000,- setiap kilogramnya. Makanya tak heran bila nelayan rela berjibaku hingga ke perbatasan Australia untuk memperolehnya. Meskipun resiko sangat jelas, mulai dari terjangan ombak hingga tertangkap polisi Australia.
Cerita tentang nelayan Bugis yang sampai ke Australia menurut catatan yang ada telah dimulai jauh sebelum abad ke 17 ketika James Cook dianggap menemukan benua Australia. Pada masa itu mereka tak hanya memburu teripang tapi juga menangkap dan menjual kulit burung cendrawasih, mencari mutiara dan lain sebagainya. Beberapa peninggalan seperti rumah tradisional dan bahasa yang diserap oleh orang asli Australia yakni Aborigin menunjukkan bahwa orang Bugis pernah berdiam di pantai utara Australia walau untuk sementara saja yakni menunggu angin bertiup ke arah utara yang akan mengantar mereka pulang ke kampung halamannya di daratan Sulawesi.
Namun kadangkala, mereka tak pulang ke Sulawesi tetapi malah menetap di pulau-pulau. Ketika sedang berada di kepulauan Aru (gugusan pulau yang termasuk dalam wilayah propinsi Maluku dan berbatasan langsung dengan Australia), penulis sempat mendapati dan menyambangi perkampungan yang dihuni oleh orang bugis. Kebanyakan rumah yang ada bermodel rumah panggung dan berada tepat di dekat pantai.
Tak begitu jelas apa sebab mereka menetap di pulau itu. Yang jelas, seorang bapak yang kutemui disana berujar,” nenek moyang kami dulu itu memang pelaut dari Bugis yang berkeliling sampai jauh hingga ke kepulauan Aru ini”.
Entah sudah berapa generasi mereka menetap disana. Bapak yang ku temui itu juga sudah lupa. Saat ini mereka telah berbaur dengan masyarakat kepulauan Aru salah satunya melalui ikatan perkawinan dengan penduduk asli Aru.
Saya meyakini kisah orang Bugis yang mengelana lautan merupakan cerita yang mungkin tak begitu asing. Beberapa daerah di indonesia terutama di kawasan pantai termasuk pelabuhan biasanya dihuni oleh orang Bugis. Apakah di kota anda juga ada? cobalah anda ingat-ingat sebentar. Bagaimana ceritanya?
Wassalam
Makassar, awalapril2010
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H