Lihat ke Halaman Asli

Dilematis Guru Penggerak yang Sudah Predikat Lulus tapi Tidak Diangkat

Diperbarui: 11 Desember 2024   14:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Program Guru Penggerak: Antara Harapan dan Tantangan

Di saat pemerintah pusat dan para UPT-nya di seluruh Indonesia sangat gencar mensukseskan Program Pendidikan Guru Penggerak, yang saat ini telah memasuki angkatan ke-10 dan masih dalam tahap seleksi wawancara, nyatanya masih ada pandangan miring dan kritik terhadap pelaksanaan program yang telah menghabiskan anggaran ratusan miliar rupiah. Berdasarkan informasi di lapangan, program Guru Penggerak yang telah berjalan hampir tiga tahun ini, alih-alih membawa transformasi pendidikan secara menyeluruh dan adil, justru menciptakan ketidakadilan di kalangan pendidik dan sekolah.

Salah satu kritik yang mencuat adalah pembatasan usia dalam seleksi program. Guru yang usianya di atas 50 tahun tidak dapat mengikuti seleksi, meskipun mereka telah bertahun-tahun mengabdi. Kebijakan ini dianggap membatasi keadilan, sebab seharusnya semua guru berhak menjadi Guru Penggerak tanpa batasan usia, asalkan lulus seleksi. Selain itu, program ini juga berorientasi pada pengangkatan jabatan kepala sekolah atau pengawas sekolah. Padahal, tujuan utama program ini adalah membentuk karakter guru yang berorientasi pada murid demi kemajuan pembelajaran.

Namun, dalam pelaksanaannya, program ini justru menimbulkan dikotomi antara guru penggerak dan non-penggerak. Kondisi ini memengaruhi keharmonisan antarguru akibat paradigma yang terbangun. Pendidikan, sebagai salah satu pekerjaan rumah besar bangsa, memerlukan kerja sama semua pihak. Jika hanya mengandalkan gerakan individu, hasilnya kurang arif. Instrumen kebijakan perlu diatur agar adil dan akses seleksi lebih terbuka, sebab saat ini tidak semua guru dapat lulus seleksi yang cukup sulit.

Program Guru Penggerak adalah program pendidikan kepemimpinan bagi guru untuk menjadi pemimpin pembelajaran. Program ini meliputi pelatihan daring, lokakarya, konferensi, dan pendampingan selama enam bulan. Sebagai pencetus program, Kemendikbudristek berharap program ini mampu membawa dampak positif bagi pendidikan Indonesia. Guru Penggerak diharapkan menjadi katalis perubahan pendidikan. Sebelum dinyatakan lulus, peserta menjalani berbagai proses, mulai dari pendaftaran, seleksi administrasi, simulasi mengajar, hingga wawancara.

Bagi yang meragukan program ini, pandangan tersebut keliru. Program Guru Penggerak sangat baik karena bertujuan mencetak guru sebagai pembelajar, pemimpin pembelajaran, agen perubahan, penggagas komunitas praktisi, pelaku aksi nyata, serta pendidik yang berpihak kepada murid dengan filosofi Ki Hajar Dewantara. Program ini juga membekali guru dengan kecakapan coaching dan fasilitasi.

Tentu saja tantangannya tidak ringan, terutama di lingkungan sekolah yang tidak seirama. Tidak semua guru memiliki energi positif yang sama terhadap Guru Penggerak. Namun, para Guru Penggerak harus tetap semangat dan konsisten, meskipun mendapat cibiran dari rekan sejawat yang kurang berminat belajar.

Harapan besar ada pada Guru Penggerak agar tidak kembali ke zona nyaman setelah lulus pelatihan. Jika Guru Penggerak kehilangan semangat dan kembali seperti sebelumnya, mereka akan gagal menjadi teladan bagi guru lainnya. Oleh karena itu, semua pemangku kepentingan harus memberikan perhatian ekstra agar hasil program ini bermanfaat bagi pendidikan Indonesia.

Semoga Program Pendidikan Guru Penggerak ini menjadi perhatian bersama dan membawa perubahan yang lebih baik di dunia pendidikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline