Beberapa hari lalu, masyarakat Indonesia dihebohkan dengan berita kenaikan harga mi instan. Kita tahu semua bahwa, mi instan selain mengisi paket sembilan bahan pokok (sembako) juga menjadi makanan wajib sebagian masyarakat dan anak kos di Indonesia. Sebab, mi instan menjadi andalan banyak orang untuk mengatasi situasi lapar yang sifatnya darurat karena mi instan merupakan salah satu sumber makanan karbohidrat.
Beberapa sumber menyebutkan, harga mi instan berkisar Rp30.000. Ini memperlihatkan meningkat berpuluh kali lipat dari harga sebelumnya. Kenaikan ini tidak lepas dari perang antara dua negara yakni Rusia-Ukraina.
Sejak dimulainya perang antara kedua negara tersebut, suplai gandum ke Indonesia berkurang yang tentunya berdampak ke harga mi instan di mana bahan utamanya adalah gandum.
Terlepas dari masalah di atas. Tahu tidak, Indonesia mampu memproduksi limbah plastik 66 juta ton per tahun Liputan 6 mungkin salah satu plastik di dalamnya ada bungkusan mi instan. Bayangkan saja, jika setengah penduduk Indonesia tidak membuang sampah plastik dalam sehari, kemudian dikalikan setahun. Maka begitu banyak sampah plastik yang dapat di kurangi.
Kalau harga mi instan naik, peminatnya dan permintaan juga ikut menurun. Kalau permintaan dan peminatnya menurun, sampah plastik kemasan mi instan juga akan berkurang sehingga memberikan dampak yang positif terhadap lingkungan.
Ini juga menjadi momentum untuk lepas dari ketergantungan dari gandum. Bukannya kita mempunyai banyak alternatif pangan lokal?. Selain gandum, masih banyak sumber karbohidrat lain seperti singkong, ubi, kentang, jagung, sagu, sorgum, talas, dan masih banyak lagi.
Terlebih lagi jika generasi milenial melihat peluang bertani yang saat ini tengah banyak diminati, lebih lanjutnya silakan baca artikel sebelumnya Milenial Bertani, Peluang atau Tantangan dan Isu dan Konteks CSR.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H