Bercengkrama disepanjang jalan diatas motor. Canda yang terukir berakhir tawa. Perempuan bermata sipit itu rupanya telah membikin saya salah tingkah pula baper.
Ia sangat akrab juga baik. Perempuan bermata sipit itu, seakan tak pernah untuk malu-malu apalagi kaku. Ia nampak tenang, ia melebur menjadi kawan karib dari teman-teman ku.
Iya, perihal dia yang bersedia hadir untuk mengikuti acara pelantikan, meski ada tumpukan tugas yang harus ia kerjakan.
Selepas mandi, tiba-tiba muncul notifikasi dari layar Handphone yang bertuliskan, "Sabantar jadi pigi.?". Rupanya dari dia, dengan segera saya buka dan balas, "Iya jadi, siap-siap sudah". Selang beberapa menit ia langsung kembali mengirim pesan, "Kosan di mana.?", "Saya tunggu di muka jalan di depan kios" balas ku. Ia pun bergegas.
Uang 20 ribu telah saya beri kepada teman-teman untuk dipakai naik angkot. Setelah itu, saya keluar untuk melihatnya. Malam itu, ia nampak wangi dengan parfumnya yang mungkin harganya mahal. Kacamata yang ia tancapkan ke dua bola mata sipitnya makin membuatnya cantik.
Tanpa pikir panjang, saya langsung berpamitan kepada teman-teman untuk berangkat duluan bersamanya. Rasa kaku, ragu, bahkan malu menyelimuti, tapi dengan memaksa diri saya coba untuk menepis semua itu.
Sesekali tak ada percakapan, saya berdiam diri sembari menghisap rokok. Malam itu ia yang membawa motor. Tiba-tiba dari arah jauh rupanya jalan dipalang dengan kayu karena ada tahlilan.
Kami pun belok kemudian lewat Jelan depan. Hujan mulai menyapa pelan-pelan. Saya langsung memutuskan untuk membawa motor, ia pun mengiyakan. Saya langsung menancap laju hingga kami sampai ke Sekretariat.
Menepis malu membuang ragu, saya langsung mengajaknya masuk ke dalam sekret. Ia duduk bersama teman-teman yang sedang menghias wajah dengan make up. Setelah beberapa menit menunggu, saya memutuskan untuk segera pergi ke tempat pelantikan terlebih dahulu bersama dia.
"Saya lapar", ucapnya. "Nanti cari pentolan Kabawa bagitu da". Ucap ku, sembari naik ke atas motor. Jalanan cukup macet, mata saya tak henti-henti menatap kiri kanan untuk melihat mas-mas yang berjualan pentolan. Tepat disebuah pertigaan, akhirnya kami menemukan salah satu penjual pentolan.
Selepas gerimis itu, bintang gemintang perlahan timbul bersama bulan yang selalu setia beri terang. Rasa kaku, malu, dan ragu sejak awal kini tak lagi terasa. Saya sudah mulai mampu menguasai semua keadaan dengan aman.