Lihat ke Halaman Asli

Menemani Mama

Diperbarui: 2 Maret 2023   20:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: Muhammad Hatta


Dentuman adzan subuh telah pecah, nyanyian gemuruh ayam-ayam telah siaga menyambut pagi. Diatas tikar berbantal Kumal saya dibangunkan oleh mama dengan nada suara parau sembari menyentuh kaki saya. 

Hari masih gelap, bintang gemintang masih melintang diatas langit tak bertiang. Bulan perlahan tenggelam, sedang bunyi-bunyi jangkrik disamping kiri kanan rumah masih mengeluh. Saya bangun, lalu beranjak menuju dapur.

Dibawa atap dapur daun sagu yang berdinding gaba-gaba, saya duduk disebuah kursi kayu buatan papa. Duduk memangku ngantuk dengan sebungkus kain yang membalut. Malam itu masih dingin, tapi demi temani mama, saya tak boleh keluh.

Api telah ditabu, saya berdiri lalu menuangkan air ke dalam dandang. Sedang Mama dengan gaya setengah jongkok sambil membenarkan kayu-kayu bakar itu. Api telah menyala, dingin pun perlahan jauh tak lagi terasa.

Hampir tiga kali saya menuangkan air kedalam dandang, setelah itu saya menepi untuk duduk kembali. Mama masih setengah jongkok didekat tungku, meski panas ia tak pernah menjauh.

Suasana subuh yang manis, langit kini nampak memerah dengan jingga yang mewabah. Bulan telah pulang diganti mentari yang perlahan terbit dengan cahayanya. Siul-siul mewarnai pagi terdengar nyaring disetiap ranting pepohonan. Burung-burung itu nampak ceria menyambut pagi yang berembun.

Air telah mendidih, dandang besar itu kemudian saya angkat pindah ke tempat lain. Beberapa termos yang telah kosong itu saya isi dengan air yang baru saja mendidih. Api makin ditabu dan nyalanya makin besar, wajan kecil yang telah diberikan minyak itu telah hangat diatas tunggu.

Seikat pisang raja telah mama kupas lalu dipotong di bagian tengah. Pisang-pisang itu kemudian mama taruh didalam wajan, "bikin teh sudah" ucapnya pelan. Saya langsung berdiri untuk membikin teh.

Teh telah siap bersama gorengan pisang buatan mama diatas meja, papa pun telah bangun. Hari itu saya dan mereka menghabiskan pagi bersama teh dan sepiring gorengan pisang dengan sederhana. Tak lupa juga, pesan dan nasehat dari mereka yang selalu saya patuhi hingga kini.

Diujung timur matahari telah menancap menelan gelap dengan teriknya. Saya telah bersiap-siap untuk kemudian pergi bersama papa di kebun. Mama telah rehat. Aktivitas di desa yang rutin ke kebun mulai berpencar. Satu persatu orang-orang mulai berpergian.

Menemani mama di malam hari adalah candu yang kini tinggal rindu. Jarak telah merenggut itu semua, hanya karena ingin merubah cita dan citra di tanah orang. Tapi, esok atau lusa saya akan segera pulang memulai dan mengulangi itu kembali.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline