Lihat ke Halaman Asli

Sang Pelipur yang Lara

Diperbarui: 3 Juli 2022   00:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: Muhammad Hatta

Sepanjang hari disebuah gubuk tak berpenghuni, ia mengurung diri bersama derita dan juga cerita yang berakhir tragis dengan isak tangis. Seseorang yang ia hibur siang malam kini hilang dipanggil Tuhan dengan waktu yang demikian cepat. 

Kini ia telah sendiri, tidak ada lagi yang menemani. Hanya harap dan doa yang ia tekuni untuk menenangkan hati. Air terjun dan deras air sungai yang menjadi tempat bagi dia untuk menghibur sang gadis pun, kini sunyi tinggal bunyi-bunyi tawa yang tersisa sedikit dibalik kerikil-kerikil yang terhampar luas dibibir sungai.

Bunga-bunga harum yang selalu mekar dihalaman gubuk, kini telah layu seiring waktu yang kian laju. Kepergiannya adalah tragedi dan tangisan disekitarnya, apalagi bagi sang Pelipur. Semagat untuk menyambut pagi dan menikmati senja sore pun sudah tak terlihat lagi. Ia terkurung dan murung disepanjang hari tanpa ditemani oleh siapa pun.

Ketika malam menjelang ia keluar lalu hanya duduk di teras gubuk, sembari menggenggam sepotong kain merah pemberian si gadis yang selalu ia hibur. Hanya itu kenagan yang berupa benda, sisanya adalah cerita dan kenagan yang selalu menyertai waktu, hari, dan segala yang dijalani di kala lalu.

Menatap bulan dengan tatapan tajam, ia genggam kain merah itu dengan erat lalu menciumnya dengan pasrah. Malam itu suasana makin kelam saat awan malam bergerak menutupi bulan, langit seakan berputar mengarungi sesosok jiwa yang makin rapuh. Ia merunduk diikuti air mata yang jatuh perlahan, tangisnya tak bersuara, tapi sakitnya tak terkira.

Sepanjang hari, seiring malam dan siang yang terus berganti. Ia mencoba untuk berusaha melupakan dan merelakan segala yang telah berlalu dan pergi. Tepat disuatu malam paling damai disaat hujan turun menguyur bunga-bunga disekitar gubuk, ia keluar dengan segenap kekuatan, melangkah menuju teras dengan kain merah yang ia pegang di malam yang kemarin. Kemudian kedua tangannya ia angkat tepat disetiap tetesan air hujan yang mengalir, lalu doanya untuk sang gadis ia lantunkan dengan suara lirih. Amin darinya pun terucap mengakhiri doa.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline