Lihat ke Halaman Asli

Berlesung Pipi

Diperbarui: 15 Februari 2024   14:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: Fitriyani Ishak 

Di lantai empat ruangan kampus, di antara anak tangga yang saling memapah, perempuan berlesung pipi itu duduk merunduk membaca buku. Berteman sebotol air yang ia taruh di sebuah hiasan kaca yang bersulam gambar bunga. 

Ia tak pernah berpaling bila ada yang lewat disampingnya, ia terus khusyuk dalam tenangnya yang produktif. Memilih menjauh dengan sebuah buku yang bercerita tentang sepasang. Ia adalah perempuan berlesung pipi yang entah namanya siapa. 

Sering kujumpai di hampir semua siang saat riuh di kampus tak lagi nyaman di telinga, aku selalu menjauh mencari ruang untuk sekadar menepi lalu membaca sisa-sisa bacaan yang belum usai. Di lantai empat paling pojok, di situlah tempat ku berdiam. 

Secangkir kopi ku pesan di kantin, kemudian ku beranjak naik menyusuri anak tangga tempat perempuan itu berdiam dan membaca buku. 

Kuingin menyapanya, meminta waktu untuk berbincang-bincang, namun ragu membumbung di antara hulu dada sebagai pertanda kaku. Perempuan berlesung pipi itu, ah, aku ingin duduk bersama mu. 

Bila jam telah menuju 15.00 ia tak lagi terlihat, mungkin telah pulang atau sedang masuk kelas. Telah seminggu aku mendapatinya membaca, wajahnya yang remang-remang berkabut lesung pipi itu telah menjelma menjadi bayang dan angan di isi kepala ku, seolah ia harus ku ajak duduk lalu berdiskusi. 

Di ujung pekan seusai melaksanakan sholat Jumat, ku percepat langkah untuk menemuinya di tempat biasa. Kampus cukup ramai, di tiap-tiap tempat duduk telah penuh dengan beragam percakapan, pun di ruang kantin. Berjalan dengan tekad kuat yang tak lagi mampu dilibas kaku dan malu, aku akan segera berkenalan dengannya. 

Sesampainya aku di tangga ketiga, suara sepatu yang menimpa lantai itu terdengar tertatih-tatih menuruni tangga dari lantai empat, pelan dan perlahan. Rupanya ia yang turun dengan menentang sebuah buku yang biasa ia baca, siang ini ia nampak anggun dengan hijab besarnya yang kecoklatan. 

"Hay", dengan bibir terbata-bata ku menyapanya. "Iya Kak", jawabnya pelan penuh santun, lalu berhenti sejenak menghadap ku yang hampir melayang karena gempuran kaku yang melambungkan. 

"Hari ini tidak membaca.?", tanya ku. Lagi-lagi ia menjawab pertanyaan ku dengan penuh santun, "Baru saja selesai, kak, kenapa emangnya.?", mendengar jawabannya aku langsung menengahi, "Oh, tidak apa-apa". 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline